"Kami melihat bahwa potensi Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga relatif kecil, dan ini tentu positif buat pasar obligasi," ujar Handy dalam Media Gathering Virtual Economic Outlook & Industri Kuartal II-2021, Rabu, 19 Mei 2021.
Handy menjelaskan, di sepanjang 2020 hampir semua bank sentral memangkas suku bunga acuannya guna meredam dampak perlambatan ekonomi imbas pandemi covid-19. Pun demikian bagi Bank Indonesia yang pada tahun lalu telah menurunkan suku bunga acuan hingga 125 bps, dari 5,0 persen menjadi 3,75 persen.
Sementara pada tahun ini, beberapa negara seperti Rusia, Brasil, dan Turki menaikkan suku bunga acuannya. Sedangkan Rumania, Meksiko, dan Indonesia masih melakukan pelonggaran kebijakan moneternya dengan menurunkan suku bunga acuan. Secara year to date (ytd), Bank Indonesia telah menurunkan 25 bps ke level terendah sepanjang sejarah 3,5 persen untuk memicu pemulihan ekonomi.
"Kita juga melihat view-nya, kemungkinan Bank Indonesia tidak perlu menaikan suku bunga mengikuti Brasil, Rusia, dan Turki. Karena kalau kita lihat, buffer kita masih sangat besar," tuturnya.
Meskipun level suku bunga acuan Indonesia merupakan yang terendah dalam sejarah, namun real benchmark rate-nya masih menjadi yang tertinggi ketiga setelah Mesir dan Tiongkok. Hingga saat ini, real benchmark rate Indonesia sebesar 2,1 persen.
Real benchmark rate Indonesia tersebut lebih tinggi dibandingkan rata-rata real benchmark rate negara-negara berkembang (emerging) yang berada di negatif 1,1 persen. Kondisi ini membuat investor asing enggan melirik pasar obligasi Indonesia, di samping karena berlanjutnya pandemi dan perlambatan ekonomi.
"Negara-negara lain itu real benchmark rate-nya masih minus. Bahkan rata-rata kalau kita ambil emerging market, itu minus 1,1 persen," urai Handy.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Treasury & International Banking PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Panji Irawan menilai bahwa penurunan suku bunga acuan yang dilakukan Bank Indonesia hingga ke level terendah sepanjang sejarah 3,5 persen dapat memicu pemulihan ekonomi nasional.
Apalagi sejumlah otoritas juga melakukan berbagai kebijakan stimulus fiskal, moneter, dan makroprudensial guna mengakselerasi pemulihan ekonomi, seperti pembebasan Pajak Penjualan (PPn) di sektor otomotif, pelonggaran aturan Loan to Value Ratio (LTV) bagi perbankan untuk memacu pertumbuhan kredit.
Digitalisasi sektor pembayaran juga terus ditingkatkan guna menunjang pola hidup kenormalan baru yang sangat bergantung pada sistem dan transaksi online. Melihat pertumbuhan yang semakin optimistis, Panji menilai intermediasi perbankan akan membaik di tahun ini, sejalan dengan pemulihan ekonomi nasional.
"Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 4,4 persen, kami melihat pertumbuhan kredit akan membaik sekitar lima persen," pungkas Panji.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id