Pencapaian ini disebabkan oleh perusahaan pinjaman P2P lending yang mampu memanfaatkan pasar yang belum terlayani oleh lembaga keuangan tradisional, terutama di Jawa. Karena pinjaman P2P terutama difokuskan di Jawa, ada potensi pertumbuhan yang sangat besar di pulau-pulau Indonesia lainnya.
"Sebelum 2018, lanskap sektor fintech Indonesia sangat sederhana dengan hanya dua pembiayaan digital baik melalui P2P lending maupun melalui sistem pembayaran. Tapi setelah 2018, industry fintech berkembang pesat mulai dari pembayaran dan pinjaman digital, insurtech, wealth tech, dan market provisioning," ungkapnya dilansir dari keterangan resmi, Jumat, 26 Agustus 2022.
Lebih lanjut, Aftech juga dikatakan tengah mendorong lebih banyak inisiatif untuk mewujudkan inklusi keuangan, termasuk bekerja sama dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD) untuk menyalurkan pinjaman modal kerja.
Saat ini baru sekitar tujuh persen dari total pinjaman BPD yang tersalurkan dengan baik. Meski demikian, masih ada sekitar 92 persen simpanan menganggur di BPD yang bisa disalurkan menjadi kredit produktif dengan menggandeng fintech crowdfunding.
Alwin mengatakan kategori crowdfunding sekuritas merupakan sektor yang sangat menarik saat ini. Pada dasarnya, securities crowdfunding adalah sekuritisasi proyek oleh UMKM yang dapat diikuti oleh investor ritel berdasarkan kriteria tertentu. Namun, perlu ada sosialisasi yang lebih besar dan struktur proyek yang lebih baik.
Kategori lain yang mendapatkan traksi besar adalah penilaian kredit. "Jadi saya kira penggunaan big data dan data alternatif akan semakin marak di Indonesia," tambah Alwin.
Perbankan digital juga menawarkan peluang bisnis yang luar biasa bagi para pemain fintech. "Bahkan saat ini semakin banyak bank tradisional seperti bank pembangunan daerah secara agresif bermitra dengan fintech karena mereka tidak perlu berinvestasi di belanja modal. Sebaliknya, fintech diuntungkan dengan kekuatan BPD dalam mengenali budaya dan kearifan lokal," tuturnya.
Baca juga: OJK: Fintek Pangkas Jarak Tingkat Inklusi Keuangan Pria-Wanita |
Dalam hal pemilihan partner yang tepat, partner East Ventures Melisa Irene mengatakan banyak organisasi yang dapat membantu menjembatani kesenjangan antara kedua belah pihak.
"Sebelum melakukan transaksi, penting bagi investor untuk memahami pihak lain sehingga mereka dapat melakukan percakapan. Juga, kita perlu menjangkau orang-orang yang dapat memperkenalkan kita, memberikan sudut pandang kita versi seseorang," kata Irene.
Di tempat yang sama, Chief Operating Officer Singapore Fintech Association Reuben Lim mengatakan, lndonesia seperti halnya Singapura, sedang mengalami pertumbuhan eksponensial tidak hanya di segmen B2B tetapi juga di segmen B2C. "Kami melihat ada peluang kolaborasi yang sangat kuat antara para pemain fintech dari kedua negara," ujar Lim.
Senada, CEO ALAMI Dima Djan mengatakan dalam kemitraan bisnis, kecocokan adalah prioritas utama. "Kami membutuhkan seseorang yang dapat memahami budaya yang berbeda dan yang sudah terbiasa dengan budaya Indonesia. Juga dari segi teknologi, Singapura cenderung memiliki pemahaman yang lebih dalam," tegas Dima.
"Kami membutuhkan tim komunikasi yang dapat menembus celah dengan mitra potensial atau ketika kami mendekati pasar baru. Misalnya ketika kita memasuki pasar Bandung dan Jakarta, perusahaan dari dua kota ini akan memiliki ekspektasi yang sangat berbeda dalam hal kecepatan dan strategi eksekusi," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News