Jakarta: Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Sunarso menyatakan industri keuangan domestik semakin siap dalam menghadapi krisis. Hal itu tercermin dari peningkatan sejumlah indikator pada industri keuangan dalam negeri.
Di antaranya saat krisis moneter 1998, resesi global 2008, krisis keuangan global 2014, serta krisis kesehatan imbas pandemi covid-19 pada 2020.
"Dari krisis ke krisis ini sesungguhnya keuangan Indonesia mengalami kemajuan yang pesat dalam hal kesiapan dan kesigapan risk management (manajemen risiko). Itu harus diakui sehingga indikator-indikator itu kelihatan masih cukup kuat dan baik," ujar Sunarso dalam diskusi virtual di Jakarta, Selasa, 16 Juni 2020.
Sunarso membeberkan pada krisis moneter 1998 volatilitas nilai tukar sejumlah mata uang negara di kawasan Asia berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia. Pada saat itu Indonesia mengalami krisis nilai tukar yang akhirnya merembet pada krisis multidimensi pada pasar keuangan, ekonomi, sosial, dan politik.
Nilai tukar rupiah melemah sebanyak 540 persen, dari Rp2.500 per USD menjadi Rp16 ribu per USD. Kemudian rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) industri perbankan domestik anjlok hingga minus 15,7 persen, serta rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) melonjak sampai 48,6 persen.
Sementara resesi global yang terjadi pada 2008 akibat kegagalan investasi dan korporasi di Amerika Serikat (AS) menyebabkan pasar keuangan dan ekonomi Indonesia terseok, meski lebih baik ketimbang krisis moneter 1998.
"Pada saat itu rupiah kita melemah 13 persen, tetapi CAR perbankan bisa bertahan di level 16,8 persen, NPL di kisaran 3,2 persen. Dampaknya terjadi pada pasar keuangan dan ekonomi seperti inflasi, nilai tukar, dan suku bunga, dan lain-lain," ungkapnya.
Lalu pada krisis keuangan global pada 2014 menyebabkan nilai tukar rupiah, suku bunga, dan inflasi jumpalitan. Korporasi besar domestik terdampak paling signifikan.
Selanjutnya krisis kesehatan imbas covid-19 pada tahun ini menyerang pasar keuangan, ekonomi, supply chain, daya beli masyarakat, serta usaha mikro kecil menengah (UMKM). Krisis keuangan imbas pandemi ini terjadi secara merata di seluruh negara di dunia.
"Kesehatan, pasar keuangan, ekonomi, supply chain, daya beli masyarakat, terutama UMKM itu yang memang terdampak karena krisis ini sekarang dirasakan oleh semua lapisan dan tak terkecuali UMKM yang paling menderita," sebut Sunarso.
Di dalam negeri, krisis ekonomi imbas covid-19 ini menekan nilai tukar rupiah sebesar 12 persen, dari Rp13.800 per USD menjadi Rp16 ribu per USD. Namun demikian, rasio-rasio perbankan domestik masih sehat dan terjaga.
"Meskipun rupiah melemah, tetapi CAR perbankan kita terjaga di level 23 persen dan NPL di posisi 2,77 persen," pungkas Sunarso.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News