Menurut dia, sebagaimana Macro Brief yang diterima di Jakarta, menaikkan suku bunga acuan merupakan langkah front-loaded, tindakan pre-emptive, dan berwawasan ke depan oleh BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan ekspektasi inflasi di tengah tekanan global maupun domestik.
Hal itu karena Indonesia masih dibayangi ketidakpastian di pasar keuangan global yang dapat menyebabkan permodalan arus keluar, yang memberi risiko terhadap stabilitas nilai tukar rupiah dan tekanan inflasi impor.
Selain itu, lanjutnya, dari dalam negeri pada Oktober 2022 tingkat inflasi mencapai 5,71 persen year on year (yoy), dengan BI memperkirakan tingkat inflasi umum akan mencapai sekitar 5,6 persen dengan inflasi inti di 3,5 persen pada akhir 2022.
Baca: Sri Mulyani: Forum G20 untuk Merespons Krisis Keuangan dan Ekonomi Global |
"Dari sisi domestik, kita terus berharap tingkat inflasi berada sekitar 5-6 persen yoy, setidaknya sampai semester-I 2023," kata Faisal, dilansir dari Antara, Jumat, 18 November 2022.
Dia memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuannya menjadi di level 5,50 persen hingga akhir 2022 dan kemungkinan menjadi di level 5,75 persen pada semester I-2023. "Karena tekanan datang dari sisi eksternal dan domestik, kami percaya BI melanjutkan kenaikan BI-7DRRR untuk menjamin stabilitas," kata Faisal.
Sebagaimana diketahui, dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 16- 17 November 2022, BI memutuskan menaikkan BI-7DRRR sebesar 50 bps menjadi 5,25 persen. "Keputusan ini sebagai langkah lanjutan secara front loaded, preemptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini masih tinggi," pungkas Gubernur BI Perry Warjiyo.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News