Saham MYRX sekitar 20 persennya dimiliki oleh investor asing. Lima persennya adalah kepemilikan Benny Tjokro yang juga merupakan Direktur Utama Hanson, sementara sisanya merupakan saham milik publik.
Akibat kasus Jiwasraya yang menjerat Benny Tjokro, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) telah melakukan suspend terhadap saham MYRX, serta Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyatakan perusahaan tersebut telah pailit berdasarkan Sidang Permusyawaratan Hakim pada 12 Agustus 2020.
Keadaan diperburuk dengan penyitaan aset Hanson oleh pengadilan terkait perkara Jiwasraya. Padahal, faktanya banyak aset-aset Hanson yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan kasus yang menjerat Benny Tjokro. Hal ini kemudian menjadi sengkarut yang tak jelas ujungnya, sementara pemilik saham publik masih menanti kepastian nasib mereka.
Menanggapi kasus ini, Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan, sementara ini pemilik saham publik Hanson sebaiknya menunggu hasil pemeriksaan di pengadilan, terkait gugatan perdata yang dilayangkan pemilik saham kepada BEI dan OJK, yang terdaftar dengan nomor 825/Pdt.G/2021/PN JKT.SEL.
"Ini adalah langkah positif. Saya pikir dengan adanya gugatan ini, keberanian itu sudah terlihat dan semoga jalannya pengadilan dalam gugatan ini berjalan lebih cepat," kata Yeka, dalam keterangan tertulisnya, dikutip Selasa, 30 November 2021.
Yeka meminta seluruh korban yang terimbas kasus Jiwasraya, termasuk pemilik saham publik Hanson datang melapor kepada Ombudsman RI untuk memberikan informasi secara lebih mendetail.
"Bisa saja dari informasi-informasi yang masuk, Ombudsman memiliki metode baru atau memperbaiki cara-cara penekanan dalam laporan terkait dengan pengaduan ini. Kami berupaya untuk menerima masukan-masukan yang sifatnya penting dan strategis dari masyarakat,” ujar Yeka.
Melihat proses secara cermat
Mantan Ketua Komisi Kejaksaan Halius Hosen menyebut, dalam kasus Hanson, semua pihak harus melihat proses secara cermat. Ia menegaskan sebenarnya saham MYRX milik para pemegang saham tidak bisa dilakukan suatu penyitaan, apalagi kemudian hakim memutuskan saham-saham tersebut terkait kasus Benny Tjokro dan dinyatakan barang bukti yang harus dirampas."Dasar hukum apa yang dipakai majelis hakim ketika itu? Kalau saham-saham ini sebagai barang bukti, harus jelas apa kaitannya pemilik-pemilik saham ini dengan perbuatan pidana Benny Tjokro?" kata Helius.
"Kalau mata rantai ini tidak dapat dibuktikan, saya kira tidak adil bilamana saham-saham ini, yang tidak bisa dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai barang yang menjadi bagian penting dalam kasus Benny Tjokro, harus menjadi korban dan disita sebagai barang bukti," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News