Mengutip data Bloomberg, Rabu, 28 September 2022, nilai tukar rupiah terhadap USD berada di level Rp15.177 per USD. Mata uang Garuda tersebut turun 53 poin atau setara 0,35 persen dari posisi Rp15.124 per USD pada penutupan perdagangan sebelumnya.
Adapun rentang gerak rupiah berada di kisaran Rp15.165 per USD hingga Rp15.177 per USD. Sementara year to date (ytd) return terpantau sebesar 6,41 persen.
Data Yahoo Finance juga menunjukkan rupiah terus-terusan babak belur. Rupiah bertengger di posisi Rp15.195 per USD, melemah sebanyak 75 poin atau 0,49 persen dari Rp15.120 per USD.
Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah pada perdagangan hari ini akan bergerak secara fluktuatif. Namun mata uang Garuda pada penutupan perdagangan hari ini diperkirakan masih melemah.
"Untuk perdagangan hari ini, mata uang rupiah kemungkinan dibuka berfluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp15.110 per USD hingga Rp15.150 per USD," jelasnya.
Baca juga: Dolar AS Mampu Unjuk Gigi Meski Ada Hantu Suku Bunga Fed |
Pelemahan ini didorong oleh sentimen pidato Ketua Federal Reserve Jerome Powell yang kembali mengisyaratkan kebijakan moneter AS. Powell telah memberikan nada yang sangat hawkish selama pertemuan The Fed minggu lalu.
Di sisi lain, ekspektasi jurang resesi dunia pada 2023 menambah rupiah semakin tak berdaya. Resesi tersebut ditengarai karena inflasi yang tinggi serta tingginya harga pangan dan energi di beberapa negara, baik di Benua Eropa maupun Amerika Serikat (AS).
Hal tersebut yang menjadikan tingginya inflasi di sejumlah negara sehingga memacu bank sentral di negara-negara maju untuk menaikan suku bunga acuan dan memperketat likuiditas. Menurut Ibrahim, kebijakan tersebut akan memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi dunia sehingga negara berkembang pun akan merasakan efek dari kenaikan suku bunga itu.
"Apabila bank sentral di seluruh dunia secara kompak melakukan kenaikan suku bunga yang cukup ekstrem, maka resesi dunia pada 2023 kemungkinan tidak dapat dielakkan. Negara-negara maju cukup cepat dan ekstrem sehingga memukul pertumbuhan negara-negara berkembang, karena suku bunga acuan di beberapa negara sendiri sudah tercatat naik sangat agresif," pungkas Ibrahim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News