Prediksinya didasarkan pada sentimen bisnis "luar biasa rapuh" saat ini yang merupakan hasil dari pertarungan tarif yang berlarut-larut antara dua ekonomi terbesar di dunia yang dimulai tahun lalu. AS dan Tiongkok sekarang sedang merundingkan kesepakatan, dengan perwakilan dari kedua negara diperkirakan bertemu di Washington minggu ini.
"Sentimen bisnis di seluruh dunia sangat rapuh," kata Zandi, seperti dikutip dari CNBC, Rabu, 3 April 2019, seraya menambahkan bahwa survei yang dilakukan oleh Moody's baru-baru ini menunjukkan bahwa kepercayaan di antara perusahaan berada pada titik terlemah sejak akhir krisis keuangan satu dekade lalu.
"(Dunia) Bisnis benar-benar gelisah dan saya pikir itu karena perang dagang ini. Dan jika itu tidak diselesaikan dalam beberapa bulan ke depan, saya pikir resesi global sangat mungkin terjadi," tambah Zandi.
Jika pembicaraan antara AS dan Tiongkok mogok dan berakhir tanpa kesepakatan perdagangan, itu bisa melukai sentimen bisnis lebih lanjut dan membuat perusahaan mengurangi perekrutan. Ketika itu terjadi, lanjut Zandi, pengangguran akan meningkat dan menyebabkan konsumen kehilangan kepercayaan pada ekonomi.
"Perbedaan antara ekonomi yang berkembang dan yang resesi hanya lah iman -keyakinan bahwa ekonomi akan baik-baik saja. Dan jika Anda kehilangan kepercayaan, tidak ada bank sentral yang akan mendapatkannya kembali. Itu resesi," tegas Zandi.
Menambah risiko yang dihadapi ekonomi global adalah potensi bahwa Inggris akan meninggalkan Uni Eropa tanpa perjanjian. Parlemen Inggris sebelumnya kembali gagal memecah kebuntuan seputar keberangkatan negara itu dari UE. Anggota parlemen tiga kali menolak kesepakatan perceraian Perdana Menteri Theresa May dan tidak bisa menemukan alternatif.
Zandi menilai ada kemungkinan Brexit akan terjadi tanpa kesepakatan, yang terasa sangat tidak nyaman. "Jika kita memiliki Brexit tanpa kesepakatan tentu saja ekonomi AS dan ekonomi Uni Eropa akan berada dalam resesi. Dan saya pikir sisa ekonomi global tidak akan terlalu jauh tertinggal. Jadi saya pikir itu akan menjadi masalah nyata juga," tukasnya.
Direktur Pelaksana dan Kepala Penelitian Ekonomi Asia di HSBC Frederic Neumann menambahkan tanda-tanda pertumbuhan yang lebih lambat di beberapa ekonomi utama Eropa sudah mengancam negara-negara secara global. Jika Brexit mendorong Eropa ke dalam resesi, negara-negara berkembang -terutama di Asia- bisa tertabrak melalui dua cara.
Satu, lanjutnya, Eropa akan menghilang sebagai pendorong besar permintaan untuk ekspor. Kedua, Eropa yang lebih lemah akan mengarah pada kenaikan dolar AS karena investor mencari investasi yang lebih aman. "Dolar yang lebih kuat tidak pernah baik (untuk pasar negara berkembang)," pungkas Neumann.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News