Prestasi AirAsia terbilang cukup gemilang setelah sebelumnya berada di zona kegagalan. Semua yang diraih AirAsia tak lepas dari sosok tangan dingin Tony Fernandes selaku CEO AirAsia.
Mengutip laman Business Insider, Kamis (1/1/2015), sebelum AirAsia menjadi raksasa penerbangan yang bernilai miliaran dolar AS seperti sekarang, dulu maskapai ini sangat kecil dengan hanya mempunyai dua Boeing 737 Jet, 250 karyawan, dan satu rute. Belum lagi, utang yang saat itu mencapai USD40 juta.
Fernandes bersama dengan beberapa koleganya mengambil alih AirAsia dari tangan pemerintahan Malaysia pada Desember 2001. Tony hanya membayar 29 sen dolar AS dan mempunyai kewajiban besar untuk membayar maskapai yang sedang sakit itu.
Fernandes, yang ketika itu berusia 37 tahun, sama sekali tidak memiliki pengalaman di bidang penerbangan, tetapi dia mengerti soal wirausaha, rekreasi, dan hiburan di pasar Asia Tenggara.
Lelaki yang lahir di Malaysia ini menyelesaikan pendidikannya di London School of Economics. Dia memulai karirnya di Richard Branson Virgin Communications pada pertengahan 1980-an. Setelah itu menjadi pengendali keuangan, sebelum pindah ke London untuk hijrah ke Warner Music International pada 1989. Setelah itu dia dipercaya untuk menjadi Managing Director Warner di Malaysia, sebelum dimasukkan ke divisi biaya keseluruhan Asia Tenggara.
Mengambil isyarat dari Southwest Airlines, Fernandes membangun maskapai dengan tarif murah, kualitas layanan dan perputaran cepat untuk pesawat ini. Sehingga maskapai ini cepat mencapai keuntungannya.
AirAsia memiliki basis di Kuala Lumpur, bersama anak usahanya di Indonesia, India, Thailand, dan Filipina membangun perusahaan. Saat ini dirinya sudah mengoperasikan armada lebih dari 160 pesawat Airbus A320 dan A330 jet seri yang mengangkut lebih dari 230 juta penumpang per tahun.
Pada 2001, AirAsia hanya memiliki 300 karyawan, sekarang sudah lebih dari 15 ribu karyawan berada di bawah naungan maskapai merah tersebut. Fernandes tidak berhenti dengan AirAsia. Maskapai ini hanya lah salah satu bagian dari Tune Grup, yang meliputi hotel di Asia dan Inggris. Fernandes juga berinvestasi di liga basket profesional dan tim balap Formula Satu, Caterham.
"Apa yang pasar inginkan? Sembilan dari 10, ketika Anda pergi, apa yang diinginkan pasar, itu sesuatu yang berbeda. Tapi kami bukan yang pertama menciptakan perjalanan murah, kami bukan yang pertama menciptakan sebuah hotel murah. Kami telah mengambil ke tingkat lain, tapi kami sudah sedikit membuka pasar Jepang dan beradaptasi dan membuatnya lebih baik sebagai bagian dari dunia," kata Fernandes.
AirAsia mungkin telah beradaptasi dengan model bisnis yang ada, tapi telah berevolusi melakukan perjalanan di Asia Tenggara. AirAsia dalam pasar tradisional yang didominasi dari kekuatan regional seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia. AirAsia pun menjadi 'semakin tinggi' dan siap bersaing dalam bisnis penerbangan jarak pendek.
Saat ini, ketiga maskapai nasional tetap dinilai sebagai pesaing AirAsia di layangan penerbangan sejenis. Stabilitas keuangan maskapai-maskapai tersebut telah terguncang oleh masuknya perusahaan baru berbiaya rendah, yang dipimpin oleh AirAsia. Singapura, langsung mengambil pendekatan proaktif dengan meluncurkan anak perusahaan SilkAir dan Scoot.
Bisnis regional yang dijalankan maskapai sedikit 'hancur' dan struktur bisnis maskapai nasional belum mampu mengatasi masalah yang ada. Inilah strategi yang harus dilakukan AirAsia, dengan melihat keadaan sebelumnya. Dengan hilangnya AirAsia QZ8501, Tony Fernandes bersama AirAsia mendapat tantangan besar. Mungkin masalah ini bisa menjadi titik balik cerita maskapai untuk membalikkan nama baik dan track record yang selama ini sudah dibangun oleh AirAsia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News