CEO AirAsia Group, Tony Fernandes -- FOTO: Reuters/Issei Kato
CEO AirAsia Group, Tony Fernandes -- FOTO: Reuters/Issei Kato

AirAsia Hadapi Krisis Terbesar Usai Jatuhnya QZ8501

Ade Hapsari Lestarini • 04 Januari 2015 15:58
medcom.id, Singapura/Kuala Lumpur: AirAsia berdiri dengan hanya memiliki dua pesawat saja pada 2001. Kini, maskapai asal Malaysia tersebut merajai industri penerbangan yang mengoperasikan lebih dari 180 pesawat di lebih dari satu dekade.
 
Kendati nama AirAsia cukup menyentuh pasar Asia Tenggara karena mottonya yang ingin membawa semua orang untuk bisa terbang, namun kini maskapai milik Tony Fernandes tersebut menghadapi tantangan terbesar yang menantang.
 
Reuters melansir, Minggu (4/1/2015), impian sang bos yang dikenal flamboyan, Tony Fernandes, redup seketika pada Minggu, 28 Desember 2014, di kala Indonesia AirAsia melaporkan Airbus 320-200 dengan 162 penumpang menghilang dalam penerbangan dari Surabaya ke Singapura.

"Ini adalah mimpi terburuk saya. Tetapi saya tidak akan berhenti. Saya sebagai CEO grup, akan berada di sana untuk melalui masa-masa sulit bersama Anda. Kami akan melalui cobaan yang mengerikan ini bersama-sama," tegas Fernandes dalam akun Twitter-nya, yang memiliki hampir satu juta pengikut tersebut.
 
Saat itu, pesawat hilang setelah pilot meminta untuk mengubah arah demi menghindari cuaca buruk. Pemerintah Indonesia pun dengan sigap mengerahkan tenaganya demi mencari para penumpang AirAsia yang hilang di Pangkalan Bun, Kalimantan, Indonesia.
 
Indonesia AirAsia diketahui 49 persen sahamnya dimiliki oleh AirAsia Bhd, perusahaan yang berbasis di Malaysia. Sementara sisa sahamnya, sebanyak 51 persen, dipegang oleh investor lokal. AirAsia menjadi begitu terkenal karena memesan Airbus hingga mencapai miliaran dolar Amerika Serikat (AS).
 
Maskapai berdominasi warna merah tersebut terpandang di Eropa karena menjadi salah satu maskapai terbesar yang menjadi pelanggan ekspor tunggal untuk industri penerbangan di Eropa dan membantu mengamankan ribuan pekerjaan.
 
Fernandes, akuntan Inggris dan mantan eksekutif Warner Music yang sering terlihat memakai celana jins dan topi merah khas AirAsia ini telah mendorong dengan keras Pemerintah Malaysia untuk hak mendarat dan pengamanan rute baru.
 
Selama beberapa bulan terakhir, keuntungan AirAsia telah sedikit terguncang karena adanya perang harga di antara industri penerbangan sejenis, yakni low cost carrier (LCC), di pasar dalam negeri dan telah menunda beberapa pemesanan pesawat, dengan tanda-tanda adanya kelebihan kapasitas di beberapa pasar di Asia Tenggara.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan