Kebijakan yang diambil oleh The Fed seakan menjadi penentu pergerakan ekonomi di seluruh dunia. Pada Oktober 2014 lalu, para pembuat kebijakan The Fed sempat mengkhawatirkan prospek pertumbuhan ekonomi global. Hal tersebut mereka sampaikan pada Risalah pertemuan kebijakan moneter The Fed pada 28 dan 29 Oktober 2014.
Dalam Risalah itu disebutkan, The Fed merevisi proyeksinya untuk pertumbuhan PDB riil AS dalam jangka menengah, dalam menanggapi kenaikan lebih lanjut pada nilai tukar mata uang dolar, penurunan prospek pertumbuhan global, serta penurunan harga saham. Kebijakan yang harus dibuat The Fed ini merujuk pada prospek ekonomi yang melemah dan meningkatnya risiko penurunan ekonomi di Eropa, Tiongkok, dan Jepang.
Selain itu, harga minyak mentah dunia yang terus menurun juga menjadi pemicunya. Sehingga mendorong The Fed memangkas proyeksi inflasi pada kuartal IV-2014 dan awal Januari 2015. Namun demikian, didukung oleh kebijakan moneter yang akomodatif dan pelonggaran lebih lanjut dari pengekangan pengeluaran dari perubahan kebijakan fiskal, The Fed memperkirakan PDB AS akan meningkat lebih cepat daripada output potensial pada 2015 dan 2016.
Akibat dari tak menentunya ekonomi dunia, tak tanggung-tanggung, The Fed memutuskan untuk menghentikan pembelian obligasi bulanan serta memberi sinyal-sinyal akan menaikkan suku bunga. Kendati hal tersebut urung dilakukan hingga waktu yang memungkinkan. The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga di nol persen hingga "waktu yang cukup" setelah program pembelian obligasi berakhir.
Akhir Desember 2014, The Fed tetap berencana menjaga suku bunga acuannya. Harga minyak yang makin menurun membuat para pedagang di pasar saham menginginkan The Fed untuk menaikkan suku bunganya demi menjaga pergerakan ekonomi dunia. Apabila kinerja pasar dan perekonomian terus membaik, maka kenaikan suku bunga bisa datang lebih cepat. Namun, jika sebaliknya, harga minyak makin tenggelam dan tingkat inflasi di bawah target dua persen, maka The Fed bakal menunda kembali untuk menaikkan suku bunga.
Peliknya keputusan yang harus diambil tersebut menilik ekonomi Eropa, Tiongkok, dan Jepang yang bergerak dalam arah sebaliknya yakni mempertahankan suku bunga di tingkat yang rendah demi mendukung perlambatan ekonomi. Sehingga, ketika The Fed bergerak di arah yang berlawanan, maka mereka berisiko mengganggu arus modal global.
18 Desember 2014, The Fed akhirnya memangkas tajam proyeksi inflasi di 2015. Fed menyebutkan inflasi akan tetap jauh berada di bawah target dua persen di 2015. The Fed berharap inflasi akan turun menjadi berada di kisaran satu persen hingga 1,6 persen untuk 2015 atau turun dari perkiraan sebelumnya, yang diungkapkan pada September, dari 1,6 persen hingga 1,9 persen.
Penurunan tersebut merupakan cerminan dari turunnya harga minyak dan gas. Fed terus memproyeksi untuk 2016, di mana inflasi berada pada kisaran 1,7 persen hingga dua persen. Para pembuat kebijakan pun juga mendorong proyeksi mereka untuk pertumbuhan ekonomi tahun ini berada pada angka 2,4 persen, atau naik dari perkiraan sebelumnya yang diasumsikan dua hingga 2,2 persen.
Hal itu mencerminkan pertumbuhan yang kuat sebesar 4,3 persen dari April hingga September, yang merupakan laju sehat dalam satu dekade. Sehingga, The Fed memperbarui prakiraan ekonomi setelah pertemuan kebijakan dua hari dalam Federal Open Market Commite (FOMC).
Awalnya, sebagian besar ekonom berpikir The Fed akan menunggu, setidaknya sampai Juni 2015 untuk menaikkan suku bunga dalam jangka pendek. Jika benar, ini menjadi kenaikan yang pertama sejak Juni 2006 silam. The Fed diketahui menurunkan suku bunga terakhir pada Desember 2008 ke rekor terendah, yakni mendekati nol persen sebagai upaya untuk memerangi krisis ekonomi terburuk sejak 1930-an.
Namun demikian, Januari 2015 sudah di depan mata. Kini, dunia tengah menunggu langkah selanjutnya yang akan dilakukan The Fed. Tentunya, melihat kondisi pasar ekonomi beberapa negara yang berpotensi mengalami krisis. Kita tunggu saja.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News