"Tetapi Washington dan Brussels belum mencapai banyak hal dalam negosiasi perdagangan mereka di masa lalu, sehingga tarif AS atas USD7,5 miliar barang Eropa dapat tetap di tempat selama berbulan-bulan," kata mantan Wakil Direktur Dewan Ekonomi Nasional AS Clete Willems, seperti dikutip dari CNBC, Sabtu, 5 Oktober 2019.
"Ini masalah besar. Tarif USD7,5 miliar adalah jumlah pembalasan terbesar yang pernah diizinkan WTO. Jadi, ini adalah kemenangan besar bagi Amerika Serikat," tambah Willems, yang sekarang menjadi mitra di firma hukum Akin Gump setelah meninggalkan posisinya di Gedung Putih pada April silam.
"Pada akhirnya, apa yang ingin mereka lakukan adalah menggunakan tarif untuk mendapatkan hasil yang dinegosiasikan. Saya pikir kedua pihak belum bekerja sama dengan baik dalam hal negosiasi perdagangan akhir-akhir ini dan mungkin perlu waktu bagi mereka menyelesaikan masalah. Jadi Anda akan melihat tarif ini tetap ada untuk beberapa bulan," tuturnya.
WTO mengumumkan hasil keputusan tersebut usai AS dan Uni Eropa bertahun-tahun berselisih mengenai subsidi yang diterima pembuat pesawat Airbus dari beberapa Pemerintah Eropa. AS pertama kali mengajukan pengaduan pada 2004. Menanggapi putusan WTO, UE mengaku akan membalas pengenaan tarif dari AS.
Adapun AS dan Uni Eropa berselisih soal masalah perdagangan, terutama sejak Donald Trump berkuasa pada 2017. Kedua belah pihak telah mencoba untuk menegosiasikan kesepakatan perdagangan tetapi tampaknya tidak membuat banyak kemajuan. Kondisi ini yang akhirnya membuat pertarungan dagang kian memanas di antara kedua belah pihak.
Tidak hanya itu, gesekan perdagangan kian memuncak ketika AS melakukan perang dagang dengan Tiongkok. Dampaknnya, sentimen bisnis jadi negatif dan mengancam pertumbuhan ekonomi secara global. Tentu ada harapan agar perang dagang yang sedang terjadi bisa segera dihentikan demi kepentingan bersama.
Kepala Ekonomi dan Strategi Bank Mizuho Wisnu Varathan menilai keputusan yang diambil WTO terbilang tragis. "Pukulan itu tidak hanya untuk perdagangan karena margin perusahaan terkikis, pendapatan diskresioner rumah tangga berkurang, dan tekanan di sektor keuangan berkepanjangan," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News