Pada Kamis 31 Desember 2015 tercatat persediaan minyak mentah di Amerika Serikat, produsen minyak terbesar di dunia, mengalami kenaikan sebanyak 2,6 juta barel pekan lalu, kata Badan Informasi Energi AS (EIA). Analis yang disurvei oleh Reuters telah memperkirakan penarikan 2,5 juta barel.
Brent, patokan minyak dunia, menetap turun USD1,33 atau 3,5 persen menjadi USD36,46 per barel. Brent sempat mencapai serendah USD36,35 kurang dari 40 sen dari posisi terendah 11 tahun pada pekan lalu. WTI mengakhiri sesi dengan turun USD1,27 atau 3,4 persen menjadi USD36,60 per barel.
Harga minyak mentah telah jatuh dua pertiga sejak pertengahan 2014 karena melonjaknya produksi dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) di mana Rusia dan Amerika Serikat menciptakan surplus global antara setengah juta hingga dua juta barel per hari.
Sementara itu, pada Jumat 1 Januari 2016, tercatat harga minyak memangkas kerugiannya, namun mengakhiri 2015 dengan penurunan tajam. Si "emas hitam" babak belur oleh kondisi global yang terus kelebihan pasokan dan pelambatan di konsumen energi utama Tiongkok.
AFP melansir, harga patokan Eropa minyak mentah Brent North Sea turun hampir 35 persen sepanjang tahun, sedangkan patokan AS minyak mentah light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) turun 30 persen.
Kontrak berjangka utama mengakhiri Kamis dengan keuntungan harian moderat. WTI untuk pengiriman Februari naik 44 sen menjadi USD37,04 per barel di New York Mercantile Exchange. Sementara di perdagangan London, Brent untuk pengiriman Februari naik 82 sen menjadi USD37,28 per barel.
Harga minyak yang mencapai level terendah sepanjang sejarah ini menggambarkan bahwa pergerakan ekonomi dunia masih belum sesuai dengan harapan. Hal ini yang juga memberi dampak terhadap harga-harga komoditas lain, seperti karet, timah, Crude Palm Oil (CPO), dan lain-lain. Bahkan, logam mulia yang dikenal safe haven pun tak pelak terkena persoalan ini.
Jelang akhir 2015 silam, harga emas milik Antam bergerak stabil di posisi Rp545 ribu per gram. Tertekannya harga emas ini sejalan dengan menguatnya dolar Amerika Serikat (USD). Emas dan dolar biasanya bergerak berlawanan arah, yang berarti jika dolar naik maka emas berjangka akan jatuh, karena emas yang diukur dengan dolar menjadi lebih mahal bagi investor.
Ada banyak peristiwa yang memengaruhi reli harga minyak mentah di sepanjang 2015 ini. Di Januari 2015, Yunani terancam gagal bayar utang, adanya konflik Rusia dan Ukraina yang masih memanas, harga emas terus menguat seiring dengan gejolak utang Yunani, dan Yunani terancam keluar dari zona euro sehingga emas menjadi pilihan investasi di Eropa.
Pada Februari 2015, ada pertemuan perdana antara Arab Saudi dengan Rusia untuk membahas strategi stabilisasi harga minyak karena harga minyak terus menurun. Di Maret 2015, Tiongkok memangkas suku bunga untuk kesekian kalinya. Aksi itu membuat harga komoditas sempat terangkat. Pada bulan yang sama, Malaysia mencabut bebas pajak ekspor CPO.
Sementara itu, April 2015, Iran mencoba melakukan lobi terhadap negara anggota OPEC untuk memangkas produksi sebesar lima persen. Di bulan yang sama, Tiongkok kembali melonggarkan kebijakan moneter dan dampaknya mampu menahan pelemahan harga emas dunia.
Pada Mei 2015, Indonesia menerapkan pajak ekspor CPO untuk program B15 dan pasar global merespons positif kebijakan Indonesia mengenai biodiesel ini karena bisa mengangkat harga CPO. Di Juni 2015, produksi minyak AS mengalami kenaikan ke level tertinggi. Di bulan yang sama, The Fed menunda kenaikkan suku bunga yang membuat harga komoditas logam menguat untuk jangka pendek.
Juli 2015, Yunani menerima kesepakatan pemberian bailout dari negeri kreditur. Dampaknya adalah pelemahan harga komoditas tertahan namun sayangnya harga emas terus mengalami tekanan setelah krisis Yunani mereda. Selain itu, harga emas dunia mencatat level terendah sejak 2009 setelah gejolak Yunani mereda dan ada spekulasi kenaikan Fed Fund Rate (FFR).
Di Agustus 2015, yuan yang mengalami devaluasi membuat gejolak harga komoditas dan harga minyak mentah menyentuh level USD38 usai ada gejolak bursa saham. Namun, pada akhir Agustus 2015, harga minyak melonjak sebanyak 10 persen dalam sehari setelah redanya gejolak bursa saham global terutama Tiongkok.
Pada September 2015, The Fed menunda kenaikan suku bunga acuan. Penundaan kenaikan suku bunga itu berhasil mendorong positif harga komoditas dan valuta asing dunia. Namun, investor kecewa karena di September dinilai momentum tepat untuk menaikkan suku bunga The Fed.
Di Oktober 2015, Tiongkok kembali melakukan stimulus moneter. Aksi yang dilakukan itu membuat fluktuasi harga komoditas semakin tinnggi. Apalagi, The Fed lagi-lagi menunda kenaikan FFR, dan membuat ketidakpastian terus berlanjut.
November 2015, adanya ledakan bom yang terjadi di Paris memicu volatilitas harga komoditas semakin menjadi-jadi. Sedangkan di bulan yang sama, yuan secara resmi mendapatkan status Special Drawing Rights (SDR) yang efektif berlaku di 1 Oktober 2016. Hal ini dinilai memicu pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan nantinya positif terhadap harga komoditas.
Sementara itu, pada Desember 2015, OPEC melakukan pertemuan untuk menghapus batasan kuota produksi anggota OPEC. Hal itu dilakukan guna mendukung strategi menjaga pangsa pasar. Di bulan yang sama, The Fed akhirnya benar-benar menaikkan suku bunganya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News