Ilustrasi (FOTO: AFP)
Ilustrasi (FOTO: AFP)

Studi: Inggris Berpeluang Hadapi Resesi Tertinggi

Angga Bratadharma • 20 Juli 2019 16:01
London: Sebuah studi yang dilakukan Resolution Foundation mengungkapkan Inggris menghadapi risiko resesi tertinggi sejak krisis keuangan. Hal itu akibat ketidakpastian Brexit dan perlambatan ekonomi global. Tentu persoalan tersebut harus segera diselesaikan guna mencegah terjadinya dampak negatif yang berlebihan.
 
Penilaian yang tidak menyenangkan terhadap kesehatan ekonomi negara, yang diterbitkan oleh lembaga think tank Resolution Foundation, menyarankan diperlukan rencana mendesak untuk mengurangi dampak penurunan berikutnya. Hal itu sejalan dengan banyaknya kartu kebijakan moneter yang telah dimainkan oleh Bank of England (BoE).
 
Mengutip CNBC, Sabtu, 20 Juli 2019, indikator risiko resesi dari Resolution Foundation, yang menggunakan imbal hasil obligasi pemerintah untuk menilai ancaman dari resesi, memproyeksikan bahwa risiko resesi Inggris kini telah mencapai level tertinggi sejak 2007.

Setidaknya Inggris mengalami resesi kira-kira satu dekade sekali. Namun, kombinasi dari perdagangan global dan tekanan politik domestik mengartikan penghindaran kehilangan pekerjaan massal dan kerugian sosial-ekonomi yang menyertai penurunan terakhir mungkin tidak dapat dicapai.
 
Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa ekonomi Inggris mungkin sudah mengalami kontraksi, karena data produsen di Juni mengalami bulan terburuk dalam lebih dari enam tahun dan pinjaman konsumen meningkat pada laju paling lambat sejak 2014.
 
Bahkan, indeks pembelian manajer (PMI) secara keseluruhan untuk Juni jatuh ke level 14,0 atau jauh di bawah perkiraan rata-rata dalam jajak pendapat Reuters, dan terendah sejak Februari 2013. Bulan lalu, Bank of England memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua menjadi nol.
 
Adapun Inggris dijadwalkan meninggalkan Uni Eropa pada 31 Oktober. Akan tetapi, keterlibatan Inggris dalam proses pemilihan kepemimpinan domestik menambah ketidakpastian terkait skema jalan keluar negara itu dari Brexit. Tidak ditampik, kebijakan Brexit justru memberikan efek negatif terhadap perekonomian Inggris.
 
Sementara itu, Boris Johnson, kandidat utama untuk menggantikan Perdana Menteri Theresa May, telah bersumpah untuk meninggalkan Uni Eropa dengan atau tanpa kesepakatan, suatu langkah yang secara luas diperkirakan sangat merusak perekonomian Inggris. Kondisi ini yang akhirnya membuat ketidakpastian semakin menjadi-jadi.
 
Adapun lima resesi terakhir telah menghasilkan pukulan ekonomi yang setara dengan kerugian sekitar 2.500 poundsterling per rumah tangga di Inggris, dan peningkatan pengangguran sebesar satu juta orang, kata laporan itu. Untungnya, bank sentral Inggris telah mengeluarkan sejumlah instrumen guna menahan resesi agar tidak lebih dalam di masa depan.
 
Saat resesi terakhir di 2008, suku bunga di Inggris secara bertahap dipotong dari 5,75 persen menjadi 0,5 persen, pelonggaran kuantitatif (QE) sebesar 375 miliar poundsterling, dan PPN dipotong menjadi 15 persen. Kesemuanya dilakukan dengan harapan resesi yang terjadi tidak memiliki dampak negatif terlalu luas terhadap perekonomian Inggris.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABD)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan