Namun di luar dugaan, Bank Sentral Rusia (CBR) malah menaikkan suku bunga hingga 650 basis poin menjadi 17 persen untuk mencegah kejatuhan Rubel. CNBC mencatat, inilah kejatuhan rubel terburuk sejak 1998, ketika kejatuhan Rubel menyebabkan gagal bayar utang Rusia. Kondisi tersebut ikut memengaruhi ambruknya Long Term Capital Management, lantaran salah memprediksi pergerakan nilai valas dan menyebarkan risiko ke pasar keuangan.
"Rusia sedang dalam kondisi krisis, tapi bukan krisis neraca yang dapat menyebabkan default sebagaimana kita lihat pada 1998," kata Kepala Strategi Investasi MFS Investment Strategies, Jim Swanson, seperti dikutip CNBC, Kamis (18/12/2014).
Swanson menyebutkan, Rusia mempunyai rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang relatif rendah, demikian juga dengan cadangan devisa yang agak 'lumayan'.
Dirinya berharap agar efek rublegeddon tidak menyebar seperti dampak jatuhnya harga minyak. "Bank-bank besar dunia, kami harapkan dengan regulasi baru yang mereka keluarkan tidak terpengaruh karena situasi itu," terang Swanson.
Sementara itu, Kepala Pejabat Investasi Regional untuk Emerging Market UBS, Jorge Mariscal menjelaskan meski gejolak hanya terjadi di pasar yang tidak perlu dikhawatirkan akan menyebar, namun bukan berarti bisa disepelekan.
"Ada sejumlah bukti terjadinya penularan bahkan ke negara-negara yang sebetulnya tidak pantas mengalaminya, hanya lantaran negara-negara itu menjadi bagian dari emerging market," kata Mariscal.
"Sejumlah mata uang, juga di Asia ikut terpukul meskipun sebagian besar ekonomi Asia merupakan negara pengimpor minyak. Ketakutan bahwa mereka berada di ajang krisis yang lebih besar ikut menyulut kekhawatiran banyak orang," tambahnya.
Kepala Strategi Ekuitas Asia Pasifik HSBC, Herald Van der Linde menyebutkanm bukan hanya Rusia, ada sejumlah negara yang mengalami pelemahan mata uang. Contohkan Indonesia yang secara umum dipandang mendapat keuntungan dari penurunan harga minyak karena besarnya anggaran subsidi bahan bakar. Namun ternyata, Indonesia juga mengalami tekanan nilai tukar rupiah hingga lebih dari tujuh persen terhadap dolar AS, atau terendah sejak 1998.
"Kondisi ini bisa menular ke sebagian dunia, mungkin juga ke negara-negara yang tak layak. Sejumlah negara -India dan Indonesia- telah melakukan pekerjaannya dengan baik dalam mengelola perekonomian mereka," imbuh Van der Linde. "Tapi mereka pun mendapatkan tekanan," sambungnya.
Tapi ia meyakini kondisi kali ini mempunyai perbedaaan besar dengan krisis keuangan Asia 1997-1998. Neraca keuangan perusahaan-perusahaan Asia sudah jauh lebih sehat, tanpa dibebani pinjaman dolar AS yang tidak dilindung nilai seperti terjadi 16 tahun lalu. Van der Linde memperkirakan pasar di Asia akan mulai menawarkan peluang beli yang lebih bagus. (CNBC)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News