Mengutip The Business Times, Minggu, 13 Maret 2022, rubel telah kehilangan sepertiga nilainya di bursa Moskow sejak Rusia menginvasi Ukraina bulan lalu, karena ekonomi lokal melemah di bawah tekanan sanksi yang diberlakukan di seluruh dunia sebagai pembalasan atas invasi tersebut.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy mengatakan Ukraina telah mencapai titik balik strategis dalam konflik dengan Rusia, tetapi pasukan Rusia membombardir kota-kota di seluruh negeri dalam apa yang disebut Moskow sebagai operasi khusus. Bahkan ada peluang pasukan berkumpul kembali untuk kemungkinan melakukan serangan lagi di Kiev.
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden bergabung dengan sekutunya untuk menyerang Moskow melalui jalur perdagangan dan menutup dana pembangunan, serta mengumumkan larangan impor makanan laut, vodka, dan berlian dari Rusia.
Rubel ditutup 3,7 persen lebih kuat pada Jumat waktu setempat (Sabtu WIB), terhadap dolar di 114,2525 di bursa Moskow. Sedangkan untuk minggu ini turun 8,1 persen setelah kehilangan lebih dari 32 persen nilainya selama tiga minggu terakhir. Kemudian mata uang telah jatuh sebanyak 39 persen tahun ini di Moskow.
Goldman Sachs menaikkan perkiraan inflasi Rusia akhir tahun menjadi 20 persen dari 17 persen, sebagian karena depresiasi lebih lanjut dari rubel. "Ini bukan pasar murni untuk melihat harga, sulit untuk mengetahui level sebenarnya," kata Ahli Strategi Mata Uang Rabobank Jane Foley.
"Prospek (untuk rubel) sepenuhnya tergantung pada apakah ada tempat untuk produksi dan energi Rusia lagi (dalam ekonomi global)," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News