Hal tersebut disampaikannya dihadapan delegasi G20 dalam pertemuan kedua Trade, Investment, and Industry Working Group (TIIWG)/The Second TIIWG Meeting di Surakarta, Jawa Tengah.
"Saya katakan jujur dalam forum terhormat ini, ada ketidakadilan dalam aliran investasi antara negara maju dan berkembang dalam investasi di bidang energi hijau. Ini masih sangat timpang," ujar Bahlil di Hotel Alila Solo, Jawa Tengah, Rabu, 6 Juli 2022.
Ia mengungkapkan, hanya satu perlima saja investasi energi hijau yang mengalir ke negara berkembang. "Dengan kata lain dua pertiga dari total populasi dunia hanya mendapatkan seperlima dari total investasi hijau," ucapnya.
Selain itu, Bahlil juga mengatakan harga jual beli kredit karbon (carbon credit) berasal dari proyek-proyek hijau yang bersumber dari negara maju diklaim jauh lebih mahal dibandingkan dari negara berkembang.
Baca juga: Bahlil Ajak Negara G20 Ikut Berperan Dukung Pemulihan Ekonomi Dunia |
Bahlil menyebut, harga karbon negara berkembang senilai USD10, sementara negara maju USD100. Padahal, lanjutnya, dalam berbagai forum internasional, negara dunia sepakat menurunkan emisi rumah kaca.
"Tapi apa yang terjadi? Ada ketimpangan harga karbon antara negara maju dan negara berkembang, itu jauh sekali," terangnya.
Menteri Investasi mendorong negara-negara G20 agar mengatur tata kelola harga karbon secara adil agar tidak ada ketimpangan yang signifikan dalam aliran investasi hijau.
"Saya tidak ingin ada sebuah perlakuan yang tidak adil, sebab persoalan emisi persoalan dunia. Forum ini sudah saatnya duduk sama rendah, berdiri sama tinggi untuk kebaikan bangsa dunia," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News