Pakta tersebut merupakan salah satu dari sejumlah janji yang dibuat pada KTT COP26 pada pekan lalu. Jepang, importir bahan bakar fosil terkotor terbesar ketiga di dunia, menolak menandatangani karena perlu mempertahankan semua pilihannya untuk pembangkit listrik, kata para pejabat.
Kritikus menyebut itu picik, bahkan ketika perdana menteri baru, Fumio Kishida, telah setuju untuk meningkatkan tindakan lingkungan lainnya.
"Meskipun Perdana Menteri Kishida berjanji untuk mengarahkan peningkatan pendanaan ke pendanaan iklim, kami kecewa dia gagal mengatasi gajah di ruangan -ketergantungan Jepang pada batu bara," kata Kepala Investasi Denmark Nordea Asset Management Eric Christian Pedersen, dilansir dari Channel News Asia, Rabu, 10 November 2021.
Perubahan keadaan
Kritik tersebut menyoroti perubahan keadaan Jepang. Jepang memimpin upaya perubahan iklim selama era Protokol Kyoto 1990-an, tetapi telah membakar lebih banyak batu bara dan bahan bakar fosil lainnya setelah bencana Fukushima 10 tahun lalu yang membuat banyak pembangkit nuklir menganggur."Tidak menghapus batu bara secara bertahap telah memposisikan Jepang untuk mengambil lompatan mundur dengan memberi sinyal pembangkit listrik tenaga panas dapat terus berjalan berdasarkan teknologi baru yang tidak ada," kata Kiran Aziz, Kepala Investasi KLP, dana pensiun terbesar di Norwegia.
Tiongkok, sumber gas penyebab perubahan iklim terbesar di dunia, tidak menandatangani pakta tersebut dan Presiden Xi Jinping tidak menghadiri konferensi dimaksud. Negara itu mengatakan akan mengurangi penggunaan batu bara untuk listrik sebesar 1,8 persen selama lima tahun ke depan.
"Di Jepang, di mana sumber daya langka dan negara dikelilingi oleh laut, tidak ada satu pun sumber energi yang sempurna. Untuk itu, Jepang tidak mendukung pernyataan tentang batu bara," pungkas Wakil Direktur Kementerian Industri Noboru Takemoto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News