Kala itu, taper tantrum dilakukan ketika imbal hasil obligasi AS melesat pada 2013 setelah Federal Reserve mengatakan akan menghentikan program pelonggaran kuantitatif atau pembelian asetnya. Dengan kata lain, taper tantrum bisa diartikan gejolak pasar ketika bank sentral mulai menyesuaikan kebijakan.
Langkah tersebut menyebabkan arus keluar uang yang tajam dari pasar negara berkembang, termasuk di Asia, dan memaksa bank sentral mereka untuk menaikkan suku bunga guna melindungi rekening modal mereka.
"Tidak semua guncangan imbal hasil diciptakan sama," kata Kepala Ekonom Asia-Pasifik S&P Shaun Roache, dilansir dari CNBC International, Jumat, 26 Maret 2021.
Roache menjelaskan imbal hasil AS meningkat sebagai tanggapan atas harapan bahwa pertumbuhan ekonomi AS yang lebih baik akan mengangkat inflasi. Dan Asia biasanya menjadi penerima manfaat utama dari peningkatan pertumbuhan global.
Selain itu, tambahnya, kondisi ekonomi saat ini di Asia memungkinkan kawasan tersebut untuk lebih waspada terhadap guncangan eksternal dibandingkan dengan di 2013. Kondisi tersebut termasuk surplus transaksi berjalan, inflasi yang umumnya rendah, suku bunga riil yang lebih tinggi, dan penyangga cadangan devisa yang lebih tinggi.
Banyak negara di Asia yang relatif berhasil menahan penyebaran covid-19. Hal itu memungkinkan ekonomi kawasan pulih lebih cepat daripada di Eropa atau AS. "Pemulihan di negara-negara berkembang Asia harus menahan kenaikan imbal hasil AS selama ini mencerminkan prospek dan refleksi pertumbuhan yang membaik daripada guncangan moneter," pungkas Roache.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News