Mata uang euro kemarin berada di USD1,1019 atau terangkat 1,15 persen pada hari itu, setelah sebuah laporan yang mengutip pejabat yang tidak disebutkan namanya mengatakan Uni Eropa sedang mendiskusikan penerbitan obligasi bersama untuk membiayai pengeluaran energi dan pertahanan.
"Hanya satu bulan yang lalu, euro hampir menyentuh USD1,15 dan penurunan cepatnya di bawah USD1,10 dolar mungkin telah berlebihan," kata Analis Senior di FXStreet.com Joseph Trevisani dikutip dari Antara, Kamis, 10 Maret 2022.
"Itu adalah langkah yang sangat cepat dan curam, jadi saya pikir kita melihat beberapa aksi ambil untung dan juga beberapa pembalikan berdasarkan itu," katanya.
Terhadap enam mata uang utama lainnya termasuk euro, dolar melemah 0,851 persen menjadi 98,276, setelah mencapai puncak 22 bulan pada Senin, 7 Maret 2022.
Pasar juga menyambut baik penurunan harga-harga komoditas yang telah berkontribusi pada lonjakan inflasi dan menambah ketidakpastian seputar ekspektasi pertumbuhan ekonomi.
Minyak mentah Brent anjlok 5,4 persen pada USD121,02 per barel, setelah sebelumnya jatuh ke level USD120,04, sementara West Texas Intermediate (WTI) AS jatuh 5,3 persen menjadi USD117,14 per barel.
Keduanya masih naik sekitar 40 persen sejak 23 Februari, sehari sebelum Rusia melancarkan serangannya ke Ukraina, dan mencapai level tertinggi sejak 2008.
Beberapa investor berpandangan bahwa larangan AS terhadap minyak Rusia mungkin tidak memperburuk kejutan pasokan dan kepala Badan Energi Internasional mengatakan badan tersebut dapat lebih lanjut memanfaatkan stok minyak.
Bank Sentral Eropa akan bertemu pada Kamis tetapi di tengah momok stagflasi, pasar uang memperkirakan pembuat kebijakan untuk menunda kenaikan suku bunga sampai akhir tahun.
"Mata uang Eropa telah berada di bawah tekanan berat selama beberapa minggu terakhir dan beberapa dari penilaian ini mulai terlihat menggeliat," kata Kepala Strategi Valas di Rabobank di LondonJane Foley.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News