Ia menambahkan sekitar 60 persen negara berpenghasilan rendah berisiko tinggi atau sudah dalam kesulitan utang. Kemudian ada sekitar 20 pasar negara berkembang memiliki utang yang diperdagangkan pada tingkat tertekan.
"Kami kemungkinan melihat lebih banyak negara membutuhkan keringanan utang," kata Gita Gopinath, dilansir dari The Business Times, Kamis, 1 September 2022.
Lonjakan harga telah melepaskan serangkaian kenaikan suku bunga di seluruh dunia oleh bank sentral, yang dipimpin oleh langkah agresif Federal Reserve, yang telah membebani dolar. Sedangkan negara-negara berkembang telah mengumpulkan seperempat triliun dolar dari utang tertekan yang mengancam akan menciptakan rentetan gagal bayar yang bersejarah.
Baca: Jokowi Pede Inflasi RI Lebih Baik dari Amerika |
"Depresiasi mata uang pasar berkembang relatif terhadap dolar memiliki konsekuensi inflasi. Itu membuat kebijakan moneter bagi mereka jauh lebih menantang saat ini dan ada negara-negara yang meminjam dalam dolar, ini menyulitkan mereka untuk membayar kembali," kata Gopinath.
Beban utang yang memburuk terjadi setelah berakhirnya pada Desember dari apa yang disebut 'Kerangka Bersama' yang diadopsi oleh Kelompok 20 untuk menangguhkan atau mengubah pembayaran utang oleh negara-negara berpenghasilan rendah selama pandemi covid-19.
Kerangka kerja ini menggabungkan Klub Paris dari sebagian besar negara kreditur kaya serta Tiongkok, yang bukan anggota, tetapi merupakan pemberi pinjaman bilateral resmi terbesar di dunia. "Diperlukan lebih banyak tindakan cepat, dan ruang lingkup kerangka kerja harus diperluas ke negara-negara berpenghasilan menengah," pungkas Gopinath.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News