Force majeure mengacu pada klausul yang termasuk dalam kontrak untuk menghilangkan tanggung jawab atas bencana alam dan tak terhindarkan yang mengganggu jalannya peristiwa yang diharapkan dan mencegah perusahaan memenuhi kewajibannya.
"Perusahaan Minyak Nasional mengumumkan melonggarkan keadaan force majeure di ladang minyak dan pelabuhan yang aman," kata NOC dalam sebuah pernyataan dikutip dari Xinhua, Minggu, 20 September 2020.
"Keadaan force majeure akan tetap di ladang minyak dan pelabuhan dengan kehadiran anggota geng Wagner dan kelompok bersenjata lainnya, yang menghalangi kegiatan dan operasi Perusahaan Minyak Nasional, dikonfirmasi," kata pernyataan itu.
Khalifa Haftar, komandan tentara Libya yang berbasis di timur setuju untuk melanjutkan produksi minyak dan ekspor dengan kondisi setelah penutupan berbulan-bulan.
"Telah diputuskan untuk melanjutkan produksi dan ekspor minyak dengan semua kondisi dan tindakan prosedural yang diperlukan yang menjamin distribusi pendapatan keuangan yang adil, tidak menggunakannya untuk mendukung terorisme, atau tidak menjadi sasaran penggelapan," kata Haftar.
Menuntut distribusi pendapatan minyak yang adil, tentara yang berbasis di timur sejak Januari telah memblokir produksi dan ekspor minyak, sumber pendapatan utama Libya.
Blokade minyak menurunkan produksi minyak mentah harian dari lebih dari 1,2 juta barel menjadi hanya sekitar 100 ribu barel. Menurut NOC, negara tersebut telah kehilangan hampir USD10 miliar akibat blokade tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News