"Kami memiliki kasus Omicron yang meningkat. Kami memperkirakan pertumbuhan lebih lambat di Tiongkok sekitar lima persen dan sekarang risalah rapat Fed menunjukkan laju penurunan (pembelian aset) akan lebih cepat dari yang diperkirakan," katanya, dilansir dari CNBC International, Selasa, 11 Januari 2022.
Ia menambahkan, faktor-faktor itu menimbulkan ancaman bagi kawasan secara keseluruhan. Bank sentral AS menakuti investor pekan lalu setelah risalah pertemuan pada Desember mengisyaratkan para anggota siap untuk mengetatkan kebijakan moneter lebih agresif dari yang diperkirakan sebelumnya.
Federal Reserve mengindikasikan mungkin siap untuk mulai menaikkan suku bunga, memutar kembali program pembelian obligasi, dan terlibat dalam diskusi tingkat tinggi tentang mengurangi kepemilikan obligasi dan sekuritas berbasis hipotek.
"Sementara pasar negara berkembang Asia berada pada posisi yang baik, mereka akan lebih terpengaruh oleh faktor-faktor ini terutama jika The Fed bergerak secara agresif di bidang kebijakan. Akan ada kompresi tingkat riil antara pasar negara berkembang di Asia dan AS," kata Casanova.
Ini dapat menyebabkan arus keluar obligasi lebih lanjut di kawasan ini, terutama dari ekonomi yang lebih rentan. Pada 2013, The Fed memicu apa yang disebut taper tantrum ketika mulai menghentikan program pembelian asetnya. Investor panik dan memicu aksi jual obligasi, menyebabkan imbal hasil obligasi melonjak.
Akibatnya, pasar negara berkembang di Asia mengalami arus keluar modal yang tajam dan depresiasi mata uang, memaksa bank sentral di kawasan itu untuk menaikkan suku bunga guna melindungi rekening modal mereka. Itu semua tergantung pada bagaimana The Fed melakukan normalisasi kebijakannya dalam beberapa bulan mendatang.
"Apa yang kami perjuangkan untuk dihindari adalah situasi mereka lebih proaktif dalam mengurangi neraca mereka pada saat yang sama ketika mereka menerapkan tiga kenaikan suku bunga pada 2022," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News