"Selama proyeksi harga kami saat ini hidup, tidak ada kemungkinan kami akan memperdebatkan (kebijakan keluar)," kata surat kabar Mainichi, mengutip pernyataan Kuroda dalam sebuah wawancara, dilansir dari Channel News Asia, Jumat, 11 Februari 2022.
"Kami tidak terlibat dalam perdebatan tentang jalan keluar. Melakukan hal itu tidak pantas mengingat perkembangan harga di Jepang," tambahnya.
Ketika kenaikan biaya bahan bakar mendorong harga grosir, Kuroda mengatakan, kemungkinan inflasi konsumen Jepang meningkat tajam sangat kecil karena rumah tangga belum menjadi toleran terhadap kenaikan harga.
"Kuncinya adalah pertumbuhan upah," tambahnya, dengan alasan kenaikan upah yang stabil akan sangat penting bagi inflasi konsumen untuk secara berkelanjutan menuju target dua persen Bank of Japan.
"Pemulihan ekonomi Jepang lebih lambat dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, dan inflasi (konsumen) hanya 0,5 persen. Dengan demikian, tidak perlu mengurangi stimulus moneter atau beralih ke pengetatan kebijakan. Tidak mungkin melakukannya," tambahnya.
Di sisi lain, sebuah jajak pendapat menunjukkan ekonomi Jepang kemungkinan pulih dalam tiga bulan terakhir di 2021 karena konsumsi meningkat selama penurunan kasus covid-19. Akan tetapi, kondisinya bisa merosot kembali ke kontraksi pada kuartal I-2022 setelah lonjakan infeksi varian Omicron.
Jajak pendapat tersebut juga menunjukkan harga grosir terus naik pada Januari dari tahun sebelumnya, tanda biaya energi dan bahan baku yang lebih tinggi akan terus mengikis keuntungan perusahaan.
Menurut perkiraan median dari 18 ekonom yang disurvei, ekonomi terbesar ketiga di dunia itu kemungkinan tumbuh 5,8 persen secara tahunan pada Oktober-Desember, kembali bangkit dari kontraksi 3,6 persen pada kuartal ketiga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News