Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia. Foto: dok BKPM.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia. Foto: dok BKPM.

Ada Negara yang Ogah Lihat Negara Berkembang Jadi Negara Maju, Takut Kesaing Kali Ya?

Despian Nurhidayat • 26 September 2022 14:29
Jakarta: Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan tidak semua negara di dunia menginginkan negara berkembang untuk naik tingkat menjadi negara maju. Hal ini dia sadari ketika melaksanakan pertemuan tingkat menteri negara G20 Trade, Investment, and Industry Ministerial Meeting (TIIMM) di Bali beberapa pekan lalu.
 
"Ternyata tidak semua negara di dunia ingin negara berkembang menjadi negara maju. Kebijakan Bapak Jokowi tentang hilirisasi, penciptaan nilai tambah, kolaborasi dengan UMKM, ternyata itu belum jadi konsensus utuh bagi negara G20. Apa yang terjadi? Ketika kita mendorong hilirisasi, sebagian negara maju tidak menginginkan ini," ungkapnya dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Investasi/BKPM, Jakarta, Senin, 26 September 2022.
 
Lebih lanjut, Bahlil menegaskan Indonesia akan terus memperjuangkan hilirisasi agar mendapatkan nilai tambah dari pengelolaan sumber daya yang ada. Maka dari itu, kebijakan ini harus dipahami oleh negara lain terutama oleh negara anggota G20.

Selain itu, dia juga menekankan keterlibatan atau kolaborasi UMKM dalam Penanaman Modal Asing (PMA) juga menjadi keharusan bagi para investor asing yang ingin berinvestasi di Indonesia.
 
"Kolaborasi dengan UMKM ini kita sudah buatkan aturannya, tapi di negara lain belum menerima itu. Kami berdebat hampir tiga jam dihadiri Menteri UK (United Kingdom), Eropa, Amerika Serikat, dan beberapa negara lain. Akhirnya dipahami investor FDI (PMA) wajib berkolaborasi dengan pengusaha daerah dan orang daerah harus menjadi tuan di negara sendiri. Ini tentu didukung oleh negara berkembang lain seperti Brazil, Afrika, Argentina, dan lainnya," tegas Bahlil.
 
Baca juga: Bahlil Beberkan 4 Tantangan Investasi Berkelanjutan di TIIMM G20

 
Dalam pertemuan G20 yang dikatakan alot tersebut, Bahlil mengatakan dirinya sampai harus mengatakan apakah salah Indonesia sebagai negara berkembang ingin mengikuti jejak negara maju yang sudah naik dari anak tangga satu ke anak tangga lain dari berkembang ke negara maju melalui hilirisasi? Selain itu, dia juga bercerita bahwa kebijakan mengenai harga karbon di negara maju dengan negara berkembang sangat tidak adil.
 
"Sebelumnya di Davos, saya mencoba memberikan masukan tentang Pasal 6 dalam Perjanjian Paris tentang keadilan. Di sana harga karbon negara maju itu mencapai USD100. Tapi di negara berkembang hanya USD10. Di saat bersamaan, jumlah karbon tertinggi itu potensinya ada di negara berkembang seperti kita punya gambut, mangrove, karang, area hutan dan lainnya. tapi harganya murah. Jadi saya bilang enggak boleh ada standar ganda. Ini terjadi perdebatan sengit dan kita tidak capai kesepakatan," tuturnya.
 
Meskipun mendapatkan banyak tantangan, Bahlil menegaskan dalam pertemuan G20 tersebut, Indonesia mampu menghasilkan Bali Compendium. Dokumen kesepakatan ini dikatakan menjadi panduan perumusan strategi dan arah kebijakan investasi serta promosi investasi di masing-masing negara.
 
"Jadi kita melihat selama ini ada negara besar yang mendikte negara berkembang dengan mengikuti arah pikiran negara maju. Maka, kami memberikan ruang kepada negara G20 untuk merumuskan langkah kebijakan investasi strategis yang menjadi prioritas dengan memperhatikan keunggulan komparatif. Maka dengan demikian, menurut saya tidak boleh lagi orang melarang ekspor komoditas kita," ujar Bahlil.
 
"Jadi Bali Compendium ini adalah instrumen kesepakatan global yang tergabung dalam G20 untuk menghargai kebijakan tiap negara internal dengan memprioritaskan kebijakan strategis dan keunggulan komparatif," pungkasnya.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(HUS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan