Mengutip The Business Times, Selasa, 21 Juni 2022, defisit perdagangan yang meningkat menggarisbawahi tantangan yang dihadapi ekonomi terbesar ketiga di dunia itu dari penurunan yen dan lonjakan biaya bahan bakar serta bahan baku, yang menjadi andalan produsen dalam negeri untuk produksi.
Impor melonjak 48,9 persen pada tahun ini hingga Mei, menurut data Kementerian Keuangan Jepang, atau berada di atas perkiraan pasar median untuk kenaikan 43,6 persen dalam jajak pendapat. Pencapaian itu melampaui kenaikan ekspor tahun-ke-tahun di angka 15,8 persen di bulan yang sama, menghasilkan defisit perdagangan 2,385 triliun yen.
Defisit itu menjadi kekurangan terbesar dalam satu bulan sejak Januari 2014. Defisit di Mei menandai 10 bulan berturut-turut kekurangan tahun-ke-tahun dan lebih besar dari kesenjangan sebesar 2.023 triliun yen yang diharapkan dalam sebuah jajak pendapat.
Berdasarkan wilayah, ekspor ke Tiongkok, mitra dagang terbesar Jepang, menyusut 0,2 persen dalam 12 bulan hingga Mei karena pengiriman mesin dan peralatan transportasi yang lebih lemah ke negara itu. Pengiriman menuju Amerika Serikat, ekonomi terbesar dunia, naik 13,6 persen pada Mei, berkat ekspor mesin dan bahan bakar mineral yang lebih kuat.
"Impor didorong kuat oleh pengiriman minyak yang lebih besar dari Uni Emirat Arab dan batu bara dan gas alam cair dari Australia," data menunjukkan.
Penurunan yen
Meskipun ekonomi Jepang diperkirakan tumbuh 4,1 persen secara tahunan pada kuartal ini karena pandemi virus korona memudar, namun penurunan yen mengancam akan melukai sentimen konsumen karena biaya bahan bakar dan makanan yang lebih tinggi menimbulkan rasa sakit pada rumah tangga.Hampir setengah dari perusahaan Jepang melihat yen yang lemah sebagai hal yang buruk untuk bisnis mereka, sebuah survei swasta menunjukkan minggu ini, menunjukkan penurunan mata uang melukai sentimen bisnis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News