Foto: Grafis Medcom.id
Foto: Grafis Medcom.id

Kudeta Myanmar Bisa Bikin Investasi AS dan Barat Mundur

Antara • 02 Februari 2021 20:18
Washington: Kudeta di Myanmar diperkirakan akan mengurangi minat perusahaan-perusahaan asal Amerika Serikat (AS) dan Barat dalam berinvestasi di negara tersebut. Bahkan mungkin akan mendorong beberapa perusahaan besar AS untuk menarik diri.
 
Data Biro Sensus AS memaparkan total perdagangan barang antara Myanmar dan AS berjumlah hampir USD1,3 miliar dalam 11 bulan pertama 2020, atau naik dari USD1,2 miliar pada 2019.
 
Unit penelitian rantai pasokan S&P Global Market Intelligence Panjiva mengatakan sektor pakaian dan alas kaki menyumbang 41,4 persen dari total impor barang AS, diikuti oleh koper yang menyumbang hampir 30 persen. Sedangkan ikan yang menyumbang lebih dari empat persen.

Pembuat koper Samsonite dan pembuat pakaian milik pribadi LL Bean termasuk di antara importir besar, bersama dengan pengecer H&M dan Adidas. Namun kantor perwakilan dagang AS belum menyampaikan data investasi langsung AS.
 
Tentara Myanmar pada Senin, 1 Februari 2021 menyerahkan kekuasaan kepada panglima militer Jenderal Min Aung Hlaing dan memberlakukan keadaan darurat selama setahun. Dia menyebutnya sebagai penipuan pemilu.
 
Langkah tersebut memicu kecaman dari para pemimpin Barat dan ancaman sanksi baru oleh pemerintah AS, dan menimbulkan pertanyaan tentang prospek satu juta pengungsi Rohingya.
 
Analis Woodrow Wilson International Center for Scholars Lucas Myers mengatakan kudeta itu akan memperburuk ketegangan dalam hubungan AS-Myanmar, menyusul sanksi yang diberlakukan oleh Washington pada Desember 2019. Sehingga akan semakin memperumit hubungan perdagangan.
 
"Dalam perdagangan, situasi Rohingya dan catatan hak asasi manusia Myanmar yang bermasalah membuat investasi kurang menarik bagi perusahaan Barat dibandingkan dengan Tiongkok," kata Myers, dikutip dari Antara, Selasa, 2 Februari 2021.
 
Sementara itu pakar perdagangan di lembaga pemikir Pusat Studi Strategis dan Internasional William Reinsch mengatakan perusahaan-perusahaan AS dapat memilih untuk keluar dari Myanmar, mengingat perkembangan terbaru dan janji Pemerintahan Biden untuk lebih fokus pada hak asasi manusia.
 
"Beberapa perusahaan AS telah memindahkan pekerjaan dari Tiongkok ke Myanmar dalam beberapa tahun terakhir untuk memanfaatkan upah yang lebih rendah, infrastruktur negara itu masih kurang, yang membuat investasi tidak berkembang pesat," tambahnya.
 
Sebagian besar pekerjaan AS berada di industri padat modal yang relatif rendah dan dapat dipindahkan dengan cukup mudah. "Ini bukan semikonduktor. Pabrik-pabrik ini relatif mudah didirikan," ujarnya.
 
Presiden American Apparel & Footwear Association Stephen Lamar menambahkan banyak dari anggota kelompok perdagangan itu berbisnis di Myanmar dan menganggap kudeta itu sangat memprihatinkan.
 
"Kami mendesak pemulihan penuh dan segera atas hak dan institusi demokrasi. Hati dan doa kami bersama rakyat Myanmar untuk penyelesaian yang cepat, damai, dan demokratis untuk krisis ini -yang tidak menghilangkan kemajuan ekonomi yang dibuat oleh rakyat Myanmar yang bekerja keras," ujarnya.
 
Seorang juru bicara H&M mengatakan perusahaannya sedang memantau peristiwa dan melakukan kontak dekat dengan pemasok, tetapi tidak memiliki rencana segera untuk mengubah strategi sumbernya. "Kami terus mengikuti perkembangan, tapi menahan diri dari berspekulasi tentang apa artinya ini bagi kami ke depan," kata pejabat itu.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan