Ilustrasi komoditas global - - Foto: dok marketwatch.
Ilustrasi komoditas global - - Foto: dok marketwatch.

Perlambatan Ekonomi Global Berpotensi Tekan Permintaan Komoditas

Fetry Wuryasti • 02 Januari 2023 13:56
Jakarta: Secara global, titik berat untuk pertumbuhan ekonomi 2023, bermuara pada proyeksi Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) mengenai potensi perlambatan ekonomi global dengan estimasi ekonomi akan tumbuh 2,7 persen pada 2023.
 
"Kami memandang perlambatan ekonomi global berpotensi mempengaruhi permintaan sejumlah komoditas. Hal itu kami lihat sebagai langkah tercepat untuk menekan laju inflasi global yang tinggi, agar gerak ekonomi bisa dapat secepatnya pulih," kata Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Indonesia Maximilianus Nico Demus, Senin, 2 Januari 2023.
 
Diperkirakan arah ekonomi global saat ini berfokus pada potensi risiko resesi, penurunan inflasi, pemulihan harga komoditas dan peningkatan pemanfaatan energi bersih. Sementara, negara berkembang diproyeksikan akan menjadi destinasi investasi, baik portfolio maupun investasi langsung. Ini melihat daya tahan negara berkembang yang cukup baik melawan krisis global.
 
"Perkiraan kami didukung oleh pantauan atas pertumbuhan ekonomi negara berkembang lebih yang unggul dari negara maju, yang pada kuartal III-2022, Malaysia memimpin laju ekonomi dengan pertumbuhan sebesar 14,2 persen dan diikuti dengan Filipina 7,6 persen dan Indonesia 5,7 persen," kata Nico.
 
Sementara, Tiongkok yang merupakan ekonomi terkuat kedua dunia mengekor kedudukan dengan laju pertumbuhan ekonomi 3,9 persen.
 
Daya tahan pemulihan ekonomi global ternyata hanya sementara. Ada kemungkinan situasi dan kondisi akan kembali memburuk sebelum semuanya membaik. Juga ada kemungkinan ekonomi akan membaik pada kuartal III-2023, saat tingkat suku bunga mulai terbatas kenaikannya.
 
Krisis energi yang sudah dimulai pada kuartal IV-2021 dan diperparah dengan invasi Rusia ke Ukraina, dan mengetatnya inventory US dan kebijakan OPEC+, telah membuat pasokan global terganggu dan berkontribusi terhadap kenaikan inflasi.
 
"Kami melihat harga acuan energi di tahun depan masih akan fluktuatif, namun tidak ekstrim seperti sebelumnya. Masih butuh waktu untuk kembali ke level harga yang stabil mengingat invasi cukup banyak mempengaruhi laju harga migas, di samping resesi," kata Nico.
 
Dunia saat ini juga tengah dirundung potensi krisis pangan imbas faktor cuaca, invasi Rusia ke Ukraina hingga tren proteksionisme. "Kami memandang krisis pangan global tahun depan masih akan berlanjut. Ini menimbang tingginya harga pupuk yang digunakan sebagai bahan baku," kata Nico.
 
Meski begitu, Rusia sepakat kembali membuka jalur pengiriman ekspor gandum Ukraina dan memberikan ekspektasi tren proteksionisme akan lebih landai dan kondisi krisis pangan perlahan membaik.
 
Potensi risiko resesi di tahun depan tercermin dari inverted yield untuk obligasi US Treasury yang telah terjadi. Secara historis, ketika inverted yield terjadi, maka resesi akan terjadi dan biasanya akan memakan waktu sekitar 18-24 bulan. Ini memberikan kewaspadaan untuk berjaga dari kondisi terburuk.
 
Baca juga: PPKM Dicabut, Jokowi Harap Kondisi Ekonomi Riil di Pasar Semakin Menggeliat

 
Perlambatan ekonomi Tiongkok dipandang membawa risiko terhadap prospek ekonomi Asia. Hanya saja, kebijakan zero covid yang dinilai ikut menekan ekonominya sudah mulai dilonggarkan yang memberikan ekspektasi adanya reopening di tahun depan.
 
"Kami pun menyoroti tren pelemahan nilai tukar seiring dengan tren kenaikan tingkat suku bunga The Fed yang membuat dolar AS menguat hampir terhadap semua mata uang di seluruh dunia," kata Nico.
 
Hal ini wajar, karena kenaikan tingkat suku bunga telah mendorong dolar AS terus menguat. Semakin tinggi tingkat kenaikan suku bunga The Fed, dolar AS akan semakin perkasa. Namun dengan kenaikan tingkat suku bunga yang mulai terbatas, tren pelemahan nilai tukar rupiah akan kembali membaik.
 
"Secara keseluruhan dari sisi global, kami memandang tahun depan akan cenderung melambat. Sehingga arah investasi ke depan akan banyak berfokus pada instrumen yang lebih aman dan minat investasi akan banyak masuk ke ekonomi negara berkembang, termasuk Indonesia yang memiliki fundamental yang cukup kuat," kata Nico.
 
Katalis positif selanjutnya yaitu pemerintah telah mencabut kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Presiden Joko Widodo menyampaikan pencabutan PPKM tersebut telah mengkaji dan mempertimbangkan situasi 10 bulan terakhir dan melalui berbagai pertimbangan.
 
Dengan dicabutnya kebijakan PPKM tersebut, ini memberi sinyal bahwa Indonesia menuju ke fase endemi. Sehingga mobilitas dan aktivitas masyarakat sudah lebih baik dengan demikian ini akan menopang ekonomi dalam negeri.
 
*Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id*
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(HUS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan