"Pelaku pasar dan investor melihat, tampaknya kawasan Asia membutuhkan waktu yang lebih lama untuk melakukan pengetatan kebijakan moneter," kata Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus, dilansir Mediaindonesia.com, Selasa, 8 Februari 2022.
"Berbeda dengan kawasan Amerika Latin yang justru lebih banyak bergerak head of the curve untuk menciptakan risk premium agar ada ruang antara tingkat suku bunga negara maju dan berkembang," kat Nico.
Saat ini bagi pelaku pasar dan investor asing berharap negara-negara di EMEA atau Eropa, Timur Tengah, dan Afrika untuk melakukan pengetatan kebijakan moneter terlebih dahulu sebelum Asia. Alasannya, harga obligasi pemerintah di kawasan Asia mengalami penurunan paling dalam di antara negara-negara berkembang, bahkan sebelum tingkat suku bunga dinaikkan.
Apalagi kawasan Amerika Latin dan Eropa justru memberikan pengetatan kebijakan moneter yang lebih cepat daripada wilayah Asia, yang cenderung lebih mempertahankan kebijakan moneter. Bahkan, Tiongkok melonggarkan kebijakanny pada Januari kemarin.
Pasar khawatir kemampuan negara berkembang
Pasar mengkhawatirkan kemampuan negara-negara berkembang untuk menjaga risk premiumnya dengan tingkat Fed Fund Rate, di saat The Fed mulai menaikkan tingkat suku bunga. Sebab, apabila mereka tidak menjaga risk premium dengan baik, ada kemungkinan capital outflow akan cenderung kembali keluar dari negara Asia dan kembali ke negara asalnya."Kami melihat yang efektif adalah setiap negara, menjaga risk premiumnya agar mampu untuk menjaga stabilitas pergerakan pasar," kata Nico.
Ada kemungkinan berbagai Bank Sentral di wilayah Asia akan mulai menaikkan tingkat suku bunganya pada kuartal III-2022 tahun ini. Namun Brasil sudah menaikkan tingkat suku bunga sebanyak 8,75 persen. Kenaikan suku bunga bank sentral Brasil telah dimulai sejak Maret 2021 dan terus naik hingga saat ini berada di 10,75 persen dari sebelumnya dua persen.
Namun ada kemungkinan bagi Brasil setelah terjadi kenaikan tingkat suku bunga negara maju nanti, mereka akan kembali turun menyesuaikan pada kuartal I-2023. Pada negara-negara seperti Rusia, Republik Ceko, Brasil, dan Chili diperkirakan pengetatan justru akan berhenti pada semester pertama tahun ini.
Mereka terlihat lebih bersiap untuk menghadapi kenaikan tingkat suku bunga. Sedangkan Indonesia dan Malaysia masih mempertahankan tingkat suku bunganya. Di lain sisi, negara-negara Asia seperti Korea Selatan, Pakistan, dan Srilanka telah menaikkan tingkat suku bunga. Tentu hal ini menjadi ujian bagi stabilitas pasar di kawasan tersebut.
Fundamen ekonomi Indonesia
Sejauh ini fundamen ekonomi Indonesia yang kuat diharapkan mampu dapat menahan gelombang kenaikan Fed Fund Rate, yang diharapkan setiap tingkat kenaikan FFR merupakan 1:1 dengan kenaikkan tingkat suku bunga Bank Indonesia."Tidak lagi seperti dahulu yang perbandingannya terlihat jauh. Permasalahan dari tingkat suku bunga adalah, ketika para regulator menaikan tingkat suku bunga mereka, otomatis akan mendorong imbal hasil juga naik. Akibatnya harga mengalami penurunan," kata Nico.
Hal ini membuat pasar di kawasan Amerika Latin, dan EMEA menjadi terlihat menarik, dibandingkan obligasi kawasan Asia yang kenaikan imbal hasil obligasinya masih tertahan, meskipun sebelumnya hanya menunggu waktu hingga imbal hasil obligasi menemukan titik keseimbangan baru.
Hal ini membuat para pelaku pasar dan investor lebih menyukai obligasi di kawasan Amerika Latin dan EMEA karena harganya yang turun lebih dalam, karena adanya kenaikan tingkat suku bunga sehingga memberikan imbal hasil yang lebih menarik, serta dianggap mampu menjaga stabilitas pasar tatkala volatilitas meningkat akibat kenaikan tingkat Fed Fund Rate nantinya.
"Selain pasar obligasi,pasar saham juga akan merasakan dampak terdalam dari kenaikan tingkat suku bunga nantinya. Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa seberapa cepat dan seberapa banyak tingkat suku bunga dinaikkan akan menjadi penentu kemana pasar akan bergerak," jelas Nico.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News