Kondisi ini membuat pertumbuhan ekonomi semakin berlarut-larut melemah, sehingga membuat inflasi menjadi meningkat. Hal ini meningkatkan risiko stagflasi, dengan konsekuensi yang berpotensi membahayakan bagi ekonomi berpenghasilan menengah dan rendah.
"Perang di Ukraina, penguncian di Tiongkok, gangguan rantai pasokan, dan risiko stagflasi memukul pertumbuhan (ekonomi). Bagi banyak negara, resesi akan sulit dihindari," kata Presiden Grup Bank Dunia David Malpass dalam siaran persnya, Rabu, 8 Juni 2022.
Stagflasi adalah istilah dari stagnasi dan inflasi yang berarti situasi ekonomi akan stagnan saat inflasi naik. Stagflasi disebabkan perang Ukraina, lonjakan biaya-biaya komoditas dan perlambatan ekonomi Tiongkok menciptakan ketidakpastian yang signifikan.
"Pasar melihat ke depan, jadi sangat mendesak untuk mendorong produksi dan menghindari pembatasan perdagangan. Perubahan dalam kebijakan fiskal, moneter, iklim, dan utang diperlukan untuk melawan misalokasi modal dan ketidaksetaraan," lanjut Malpass.
Pertumbuhan global diprediksi merosot
Malpass mengatakan, pertumbuhan global diperkirakan akan merosot dari 5,7 persen pada 2021 menjadi 2,9 persen pada 2022. Angka ini secara signifikan lebih rendah dari 4,1 persen yang diantisipasi pada Januari.Dia menuturkan, kondisi ini diperkirakan akan berada di sekitar kecepatan itu selama 2023-2024, karena perang di Ukraina mengganggu aktivitas, investasi, dan perdagangan dalam waktu dekat, permintaan memudar, dan akomodasi kebijakan fiskal dan moneter ditarik.
"Akibat kerusakan akibat pandemi dan perang, tingkat pendapatan per kapita di negara-negara berkembang tahun ini akan hampir lima persen di bawah tren pra-pandemi," jelasnya.
Laporan Prospek Ekonomi Global Juni menawarkan penilaian sistematis pertama tentang bagaimana kondisi ekonomi global saat ini dibandingkan dengan stagflasi pada 1970-an. Hal ini dengan penekanan khusus bagaimana stagflasi dapat memengaruhi pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang.
Strategi pemulihan akibat stagflasi pada 1970-an yakni kenaikan tajam suku bunga di negara-negara maju, yang memainkan peran penting dalam memicu serangkaian krisis keuangan di pasar negara berkembang dan negara berkembang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News