Sementara kenaikan imbal hasil obligasi AS mengangkat dolar ke puncak tertinggi terhadap yen Jepang. Indeks berjangka Nasdaq dan S&P 500 keduanya turun sekitar 0,5 persen di awal perdagangan, karena harga minyak memperpanjang kenaikannya.
Indeks MSCI dari saham Asia Pasifik di luar Jepang turun 0,2 persen dan indeks acuan Australia melemah 0,9 persen. Sementara itu, indeks Nikkei Jepang kehilangan 0,5 persen setelah anjlok 2,5 persen minggu lalu.
"Imbal hasil obligasi terus didorong lebih tinggi, ekspektasi inflasi meningkat dan pengetatan moneter dalam berbagai bentuk menjadi lebih umum," kata analis ANZ dalam sebuah catatan dikutip dari Antara, Senin, 11 Oktober 2021.
“Kekurangan cip global akan berlanjut hingga tahun depan, menambah ketidakpastian lebih lanjut pada pemulihan yang tidak merata,” sambungnya.
Analis BofA memperingatkan denyut inflasi global akan diperburuk oleh mahalnya harga energi lantaran minyak mentah berpotensi melampaui USD100 per barel di tengah terbatasnya pasokan.
Karenanya, aset-aset riil, real estat, komoditas, volatilitas, uang tunai, dan pasar negara-negara berkembang akan diburu, sedangkan obligasi, kredit, dan saham akan terpengaruh secara negatif.
BofA pun merekomendasikan komoditas-komoditas sebagai lindung nilai dan tercatat menyumbang 20-25 persen dari indeks ekuitas utama di Inggris, Australia dan Kanada, 20 persen di pasar negara-negara berkembang, 10 persen di zona euro, dan hanya lima persen di Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jepang.
Adapun dolar mendapat dukungan karena imbal hasil AS melampaui imbal hasil di Jerman dan Jepang, mengangkatnya ke level tertinggi sejak April 2019 terhadap yen di 112,27. Euro melayang di 1,1566 dolar, setelah mencapai level terendah sejak Juli tahun lalu di 1,1527 dolar minggu lalu. Indeks dolar bertahan di 94,158, tak jauh dari puncak baru-baru ini di 94,504.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id