Credit Suisse. FOTO: AFP
Credit Suisse. FOTO: AFP

Serba-Serbi Drama Credit Suisse

Angga Bratadharma • 17 Maret 2023 11:01
Jakarta: Harga saham Credit Suisse melesat 30 persen pada pembukaan bursa Kamis waktu setempat, setelah sehari sebelumnya anjlok 24,2 persen ke level 1,7 francs Swiss. Kondisi itu menandai level terendah sepanjang sejarah bank tersebut.
 
Menurut Stockbit Snips, Jumat, 17 Maret 2023, penurunan harga saham tersebut disebabkan oleh Saudi National Bank –salah satu pemegang saham besar di Credit Suisse– yang enggan memberikan bantuan keuangan lebih lanjut bagi bank terbesar ke-2 di Swiss tersebut.
 
Menurut Saudi National Bank, mereka tidak bisa menambah kepemilikan di Credit Suisse karena alasan regulasi. Saudi National Bank saat ini memiliki 9,8 persen saham Credit Suisse, sementara regulasi membatasi kepemilikan maksimal di level 10 persen.

Credit Suisse berencana pinjam dana

Atas kejadian ini, Credit Suisse berencana untuk meminjam dana hingga 50 miliar francs Swiss (USD54 miliar) dari bank sentral Swiss untuk meningkatkan likuiditasnya. Pihak bank sentral Swiss mengungkapkan siap untuk membantu Credit Suisse karena bank tersebut memenuhi persyaratan sebagai bank yang penting.
Baca: Berikut Profil 3 Bank AS yang Bangkrut yang Buat Pasar Keuangan Panas Dingin!

Rencana pinjaman dana dari bank sentral Swiss tersebut ditanggapi secara positif oleh pelaku pasar pada Kamis, sehingga menyebabkan harga sahamnya rebound. Jika ditarik ke belakang, dalam beberapa waktu terakhir, Credit Suisse kerap didera berbagai persoalan, salah satunya eksposur dalam skandal keuangan Archegos Capital dan Greensill Capital.

Pada Februari, Credit Suisse melaporkan kerugian kuartal IV-2022 sebesar USD1,6 miliar, setelah nasabah menarik dana USD88,3 miliar dalam dua minggu pertama Oktober 2022 akibat khawatir dengan ketidakstabilan bank. CNN melaporkan kerugian Credit Suisse selama 2022 mencapai USD7,9 miliar, yang menandai kerugian tahunan terbesar sejak krisis keuangan 2008.

 
Respons positif investor tidak hanya tercermin di harga saham Credit Suisse, tetapi juga tercermin dari perubahan ekspektasi terhadap arah kebijakan bank sentral Eropa (ECB). Sebelumnya, ECB diperkirakan masih akan agresif menaikkan suku bunga sebesar 50 bps ke 3,5 persen. Namun, ekspektasi pasar sekarang terbagi 50:50 antara kenaikan 50 bps dan 25 bps.
 
Laju kenaikan suku bunga yang diekspektasikan melambat berpotensi membuat aset obligasi kembali atraktif. Sebab, dengan yield obligasi yang melandai, maka harga obligasi dapat naik. Ekspektasi senada juga terjadi di AS di mana The Fed diestimasikan hanya akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bps atau bahkan tak ada kenaikan sama sekali.
Baca: Keruntuhan Sejumlah Bank AS Buat Eropa Turut Kena Getah

Hal itu setelah tiga bank regional kolaps pada pekan kemarin. Sebagai efeknya, yield obligasi Pemerintah AS tenor 10 tahun turun ke 3,5 persen dan tenor dua tahun juga turun ke 4,01 persen, yang menandakan penguatan harga obligasi.
 
Meski demikian, risiko resesi masih membayangi pasar global. Sebab, kondisi inverted yield curve di Amerika Serikat –yang digunakan sebagai salah satu indikator terjadinya resesi– terus terjadi di mana yield obligasi tenor panjang (10 tahun) lebih kecil dibandingkan dengan tenor pendek (dua tahun).  
 
Di sisi lain, beberapa ekonom berpendapat bahwa krisis perbankan di AS tidak akan menimbulkan efek domino di pasar keuangan yang dapat memicu krisis finansial. Menurut Ekonom Capital Economics Andrew Kenningham, tidak ada indikasi bahwa fenomena yang terjadi di industri perbankan AS mempunyai efek menular secara langsung.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABD)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan