Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. FOTO: AFP
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. FOTO: AFP

Erdogan Ajak Rakyat Turki Bantu Stabilkan Lira

Angga Bratadharma • 27 Maret 2021 15:03
Ankara: Inflasi, penurunan mata uang, dan cadangan devisa yang menipis dengan cepat menjadi beberapa risiko di Turki yang diperingatkan oleh investor dan ekonom pasar berkembang. Hal itu menyusul keputusan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang memecat kepala bank sentralnya.
 
Langkah tersebut, yang merupakan pemecatan ketiga dalam dua tahun, mengirim nilai lira Turki jatuh. Tetapi Erdogan menegaskan ekonominya baik-baik saja. Bahkan, ia mengatakan kepada anggota Partai AK yang berkuasa dalam pidatonya bahwa volatilitas pasar minggu ini tidak mencerminkan realitas ekonomi Turki.
 
Namun, dalam pidato yang sama, dia mendesak Turki untuk menjual aset valuta asing dan emas mereka serta membeli instrumen keuangan berbasis lira, dalam upaya menstabilkan mata uang yang yang kehilangan 10 persen nilainya sejak Jumat lalu waktu setempat.

"Kembalinya volatilitas. Risiko krisis mata uang tumbuh," tulis perusahaan Capital Economics yang berbasis di London, dilansir dari CNBC International, Sabtu, 27 Maret 2021.
 
Kondisi itu menggambarkan bagaimana mantan Gubernur Bank Sentral Turki Naci Agbal, yang telah bersiap untuk mengatasi inflasi dua digit Turki dengan menaikkan suku bunga utamanya sebesar 875 basis poin sejak mengambil pekerjaan pada November, telah menanamkan kepercayaan pada investor.
 
Tapi Erdogan telah lama memiliki pandangan yang tidak ortodoks bahwa suku bunga yang lebih tinggi menyebabkan inflasi. Para pengamat mengatakan hanya masalah waktu sebelum Agbal diganti dengan seseorang yang lebih lunak terhadap pandangan Erdogan, memicu ketakutan investor atas kurangnya kekuatan bank sentral, inflasi, dan krisis mata uang yang akan datang.
 
Pengganti Agbal, Sahap Kavcioglu, menurut banyak pakar Turki, kurang pengalaman di lapangan dan memiliki sejarah mengkritik kenaikan suku bunga. Hal itu yang akhirnya memicu kekhawatiran inflasi yang tidak terkendali.
 
"Sepertinya upaya bank sentral untuk melawan masalah inflasi negara mungkin akan berakhir, dan krisis neraca pembayaran yang berantakan telah menjadi (sekali lagi) kemungkinan nyata," tulis Ekonom Senior Pasar Berkembang Capital Economics Jason Tuvey.
 
Inflasi Turki berada di level 15 persen, pengangguran kaum muda di angka 25 persen, dan dolar naik lebih dari 10 persen terhadap lira sejak pemecatan kepala bank sentral Turki.
 
"Ini akan segera mengikis kredibilitas yang dibangun selama Agbal, meningkatkan premi risiko pada aset keuangan Turki, dan memaksa pembuat kebijakan yang tersisa untuk berjalan di atas tali yang bahkan lebih sulit kedepannya," kata Ekonom Senior Handelsbanken Macro Research Erik Meyersson, di Stockholm.
 
Ketika lira turun tajam karena kekhawatiran serupa tentang kebijakan moneter Turki pada Mei 2018, dampaknya mengguncang banyak bank Spanyol dan Prancis, yang memiliki eksposur signifikan terhadap aset Turki. "Sekarang itu bukan masalah," kata Direktur Pelaksana Riset Ekonomi Istanbul Can Selcuki.
 
"Saya ragu hal ini akan menyebabkan kredit macet yang dapat menimbulkan risiko bagi bank asing. Tingkat lira tidak pernah terjadi sebelumnya sehingga bisnis terbiasa dengan ini dan mereka yang bangkrut melakukannya selama penurunan mata uang sebelumnya," kata Selcuki.
 
Nenurut S&P Global sektor perbankan Spanyol memimpin dalam hal eksposur ke sektor publik Turki dengan nilai USD14,7 miliar aset Turki termasuk obligasi pemerintah, turun dari USD20,82 miliar pada musim semi 2018. Kemudian diikuti oleh Prancis dengan USD6,4 miliar atau turun dari USD7,1 miliar pada 2018.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABD)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan