Asosiasi Pemilik Perkebunan Malaysia (MEOA) mengatakan produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia telah berjuang untuk memanen buah sawit karena kekurangan tenaga kerja yang diperburuk oleh pembatasan imigrasi terkait pandemi. Pekerja asing, sebagian besar dari Indonesia, merupakan sekitar 80 persen dari tenaga kerja di perkebunan Malaysia, yang berjumlah sekitar 437 ribu pada awal pandemi.
"Harga minyak sawit mencapai rekor tertinggi tahun ini karena krisis tenaga kerja, pembatasan ekspor di produsen utama Indonesia dan perang Rusia-Ukraina, tetapi produsen Malaysia tidak dapat mengambil keuntungan dari itu," kata MEOA, dikutip dari Channel News Asia, Senin, 6 Juni 2022.
"Kenyataan yang menyedihkan adalah Malaysia kehilangan kesempatan emas yang disajikan di atas piring karena kami tidak mampu mengatasi pemanenan semua tandan kelapa sawit pada putaran panen yang sesuai dengan tenaga kerja yang terbatas saat ini,” kata MEOA.
Pada September, Malaysia menyetujui perekrutan 32 ribu pekerja migran untuk perkebunan kelapa sawit, tetapi tenaga kerja asing tersebut belum masuk ke negara itu karena izin penahanan.
MEOA mengatakan proyeksi industri untuk produksi 2022 menjadi 18,6 juta ton dapat diturunkan lebih lanjut jika tenaga kerja tidak segera masuk.
Pekan lalu, lembaga negara Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOC) menurunkan prospek produksinya menjadi 18,6 juta ton untuk tahun ini dari perkiraan sebelumnya 18,9 juta ton.
"Proyeksi ini dapat dikurangi lebih lanjut jika pemerintah tidak dapat bertindak sekarang di tengah lambatnya kemajuan dalam menerbitkan 32 ribu izin yang diperpanjang," kata MEOA.
Indonesia pekan lalu membatalkan rencana mengirim warganya untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit Malaysia, dengan alasan masalah prosedural.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News