Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman menyebut, berdasarkan formula yang berlaku, seharusnya harga premium September sudah menyentuh Rp.7.100 per liter dan solar Rp6.500 per liter.
Sementara pemerintah menetapkan harga premium di luar Jawa-Madura-Bali (Jamali) tidak mengalami perubahan sampai akhir tahun yakni Rp6.450 per liter dan solar subsidi Rp5.150 per liter.
"September saja misalnya, di non-Jamali Rp6.450 per liter secara formula Rp7.100 per liter. Biosolar harusnya Rp6.500 per liter," kata Arief di Menara BCA, Jakarta, Kamis malam 2 November 2017.
Kendati demikian, tambah Arief, Pertamina adalah perusahaan pelat merah yang sudah seharusnya tunduk atas keputusan pemerintah. Terkait harga ini, Pertamina akan pasrah mengikuti aturan yang ditetapkan pemerintah.
"Kita enggak meminta kok, apa saja yang mau ditetapkan pemerintah ya kita lakukan" ucap dia.
Seperti diketahui, dengan tidak mengubah harga tersebut, maka berdampak pada kinerja keuangan Pertamina yakni dalam sembilan bulan 2017 mencatat laba bersih anjlok 30 persen. Laba bersih pada sembilan bulan terakhir di 2017 sebesar USD1,99 miliar. Laba ini mengalami penurunan dari periode yang sama pada tahun lalu senilai USD2,83 miliar.
Direktur Utama Pertamina Elia Massa Malik mengatakan, penyebab tergerusnya laba tersebut karena peningkatan rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP). Namun, harga BBM penugasan dan subsidi tetap.
Pada periode sembilan bulan tahun lalu, rata-rata ICP hanya USD37,88 per barel. Pada Januari sampai September 2017 rata-ratanya menjadi USD48,86 per barel.
Hal ini berbanding terbalik dengan pendapatan perseroan pada sembilan bulan 2017 yang mencapai USD31,38 miliar atau naik 18,88 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu senilai USD26,62 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News