Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono mengatakan mahalnya biaya jika pembangunan smelter dibangun dengan teknologi tinggi seperti rotary killer yang memerlukan biaya mahal. Dia bilang biaya paling murah jika menggunakan teknologi blast furnance. Namun teknologi tersebut sangat sensitif terhadap bahan baku yang digunakan.
"Saya sejak awal 2017 mengatakan pembangunan smelter enggak bisa dibiayai dari hasil ekspor. Kalau mengandalkan ekspor enggak akan terbangun," kata Bambang di Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Senin, 2 September 2019.
Bambang menjelaskan sejak adanya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 1 tahun 2017 tentang tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, pemerintah masih memperbolehkan perusahaan nikel untuk mengekspor dalam bentuk bijih nikel dengan bagian dari insentif yang diberikan untuk memastikan perusahaan membangun smelter.
Insentif pelonggaran ekspor bijih nikel dengan kadar rendah di bawah 1,7 persen diperbolehkan hingga awal Januari 2022. Namun pemerintah menghentikan insentif tersebut dengan mempercepat larangan ekspor hingga 1 Januari 2020. Artinya batas waktu perusahaan nikel untuk bisa mengekspor nikel mentah hingga 31 Desember 2019.
"Namun membangun kalau hanya andalkan insentif enggak cukup. Insentif itu ekstra bonus," jelas Bambang.
Sebelumnya Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengharap agar pemerintah tidak mempercepat larangan ekspor bijih nikel di akhir tahun ini. Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan ada 26 perusahaan nasional yang saat ini sedang melakukan progres pembangunan smelter seperti yang diinginkan pemerintah dalam rangka hilirisasi meningkatkan nilai tambah.
Dia mengakui dari jumlah tersebut ada beberapa perusahaan yang nakal dengan mencoba tetap ekspor tanpa melampiri progres pembangunan smelter yang sedang dijalankan.
Dirinya mengatakan dalam membangun smelter, perusahaan menggunakan pendanaan dari hasil ekspor yang selama ini dilakukan. Sehingga apabila ekspornya dihentikan maka tidak ada keuntungan yang didapat untuk membiayai pembangunan smelter. Akibatnya pembangunan smelter akan terhambat dan rencana hilirisasi tidak berjalan sesuai keinginan pemerintah
"Pemerintah komit dengan PP nomor satu, karena kami sedang membangun dengann modal dari kuota ekspor ada keuntungan," kata Meidy di kantor DPP APNI, Jakarta Pusat, Kamis, 22 Agustus 2019.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News