Ilustrasi pipa gas PGN. FOTO: dok MI.
Ilustrasi pipa gas PGN. FOTO: dok MI.

PGN: Kenaikan Harga Gas Masih Belum Final

Suci Sedya Utami • 27 September 2019 21:08
Jakarta: PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) menyatakan rencana kenaikan harga gas bumi di Oktober masih belum final. PGN masih akan melihat dan menunggu hasil survei yang dilakukan terkait rencana kenaikan tersebut.
 
Corporate Secretary PGN Rachmat Hutama mengatakan saat ini PGN tengah melalukan survei untuk mengetahui kemampuan daya beli pelanggan atau konsumen.
 
Dirinya mengatakan survei akan dilakukan hingga akhir September. Nantinya hasil survei tersebut masih akan dikaji lebih lanjut untuk menentukan kenaikan harga.

"Dikaji karena survei itu dilakukan untuk mengetahui WTP (willingness to pay/nilai kesediaan membayar) dari pelanggan," kata Rachmat pada Medcom.id, Jakarta, Jumat, 27 September 2019.
 
Lagi pula, kata Rachmat, kenaikan biaya tersebut diperuntukkan untuk pengembangan infrastruktur dan keandalan pasokan. Hingga saat ini, sebagai subholding gas bumi, PGN telah membangun jaringan gas hingga lebih dari 10 ribu kilometer. Panjang pipa gas PGN ini hampir dua kali lipat dibandingkan jaringan gas milik Malaysia dan Thailand, serta empat kali lipat lebih panjang daripada jaringan gas di Singapura. Sedangkan di Tiongkok jaringan pipa yang terbangun mencapai lebih dari 40 ribu kilometer.
 
Dari data tersebut, biaya pengelolaan kegiatan hilir Indonesia masih bersaing dibanding negara-negara di Asia Tenggara. Rentang biaya distribusi dan niaga di Indonesia berkisar USD2,8-USD4 per MMBTU. Dibandingkan dengan negara Malaysia, Singapura, Thailand dengan rentang biaya hilir sebesar USD2,8-USD3 per MMBTU dengan panjang pipa setengah dari yang dimiliki Indonesia.
 
Menurut Rachmat, semakin panjang jaringan pipa yang dikelola oleh suatu badan usaha, maka biaya pengelolaan dan perawatannya menjadi besar. Dia bilang setiap tahun biaya dua komponen itu juga terus naik. Rencana penyesuaian harga gas yang akan dilakukan oleh PGN, kata Rachmat, juga sudah dikaji secara matang dengan memperhitungkan banyak aspek. Termasuk dari sisi kemampuan konsumen industri sendiri.
 
"Sebenarnya PGN punya program untuk peningkatan layanan ke pelanggan dengan memperluas pengembangan infrastruktur dan keandalan pasokan supaya pelanggan bisa menikmati gas tanpa ada gangguan sehingga untuk hal tersebut akan timbul biaya," tutur Rachmat.
 
Di sisi lain, PGN menyatakan di kawasan Asia, harga gas yang disalurkan PGN juga masih sangat kompetitif. Kecuali jika dibandingkan dengan harga gas di Malaysia yang mendapatkan subsidi dari pemerintah negara itu.
 
Berdasarkan data sejumlah lembaga energi terkemuka seperti Woodmack (2018) dan Morgan Stanley (2016), harga gas bumi kepada sektor industri di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan harga di Singapura dan Tiongkok. Di Singapura konsumen industrinya membeli gas berkisar USD12,5-USD14,5 per MMBTU. Sementara industri di Tiongkok harus membayar lebih mahal lagi yaitu mencapai USD 15 per MMBTU.
 
"PGN menjual gas kepada pelanggan akhir berkisar antara USD8-USD10 per MMBTU. Harga itu terbentuk dari berbagai sumber baik gas sumur maupun LNG yang harganya jauh lebih tinggi," ujar dia.
 
Rachmat menegaskan, sejak 2013 PGN tidak pernah menaikkan harga gas kepada konsumen industri. Sementara biaya pengadaan gas, biaya operasional dan kurs dolar AS terus meningkat. Secara akumulasi, sejak 2013 hingga saat ini kurs dolar AS telah mengalami kenaikan hingga 50 persen. Biaya pengadaan gas selama ini menggunakan patokan kurs.
 
"Dengan beban biaya yang terus meningkat tentunya ruang bagi PGN untuk mengembangkan infrastruktur gas bumi menjadi makin terbatas. Sementara banyak sentra-sentra industri baru, seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang belum terjamah gas bumi," tegas Rachmat.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan