Menurut Sudirman, rencana pembentukan DKE mengemuka sejak pertengahan tahun lalu melalui berbagai forum publik. Konsep awal perlunya dibentuk DKE juga pernah dikemukakan dalam Rapat Kerja Pemerintah dengan Komisi VII pada September 2015.
"Menindaklanjuti komunikasi dengan Komisi VII tersebut, pada November Kementerian ESDM memulai inisiatif penyusunan regulasi, yang pada saat ini masih terus disempurnakan," jelas Sudirman, dalam surat terbukanya, di Jakarta, Selasa, 5 Januari.
Selain itu, pembentukan DKE ini bersamaan dengan proses peninjauan harga BBM reguler yang dilakukan setiap tiga bulan, di mana rencana pembentukan DKE menjadi wacana publik yang sangat luas.
"Banyak pihak baik anggota DPR, pengamat energi dan perminyakan, aktivis organisasi sosial kemasyarakatan, dan akademisi telah menyampaikan saran, kritik, masukan, dan rekomendasi jalan keluar," tambah dia.
Oleh karena itu, penundaan pembentukan DKE ini memberi kesempatan kepada semua pihak untuk terus memyempurnakan persiapan, baik berupa landasan hukum yang lebih kuat, persiapan kelembagaan, mekanisme penghimpunan dan pemanfaatan, dan komunikasi yang lebih luas dengan stakeholders.
"Perlu kiranya kita terus mengkaji dan mempedomani dari UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, dan PP nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional," papar dia.
Menurutnya, kedua payung hukum tersebut mengamanatkan agar kita membentuk Strategic Petroleum Reserves (SPR), suatu cadangan simpanan minyak mentah dan BBM yang hanya digunakan dalam keadaan darurat, yang sampai saat ini tidak dimiliki sama sekali.
Sudirman pun membandingkannya dengan negara-negara lain seperti Myanmar (empat bulan), Vietnam (47 hari), Thailand (80 hari), Jepang (enam bulan), dan Amerika Serikat/AS (tujuh bulan).
UU Energi dan Kebijakan Energi Nasional, lanjut dia, juga memberi mandat agar pada 2025 bauran energi baru dan energi terbarukan Indonesia sudah mencapai 23 persen. Sementara saat ini bauran EBT Indonesia baru mencapai tujuh persen.
"Di samping itu, kita juga wajib mempercepat pembangunan akses energi bagi 2.519 desa yang letaknya amat sulit, masih belum terjangkau listrik sama sekali, yang hanya bisa dipasok energi berbasis energi baru dan terbarukan. Begitupun 12.659 desa kita hanya bisa ditingkatkan akses energinya dengan basis EBT," bebernya.
Adapun hal-hal tersebut hanya bisa dicapai jika memiliki sumber daya tambahan untuk memberi stimulus dan membiayai program-program rintisan, yang belum memungkinkan diserahkan kepada korporasi atau pelaku bisnis energi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News