Illustrasi. ANT/Yusran Uccang
Illustrasi. ANT/Yusran Uccang

Satu Tahun Jokowi - JK

Masih Banyak Harapan Untuk Menegakan Kedaulatan Energi

Arif Wicaksono • 19 Oktober 2015 21:16
medcom.id, Jakarta: Upaya kedaulatan energi Indonesia  masih jauh dari berhasil. Dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan Media Research Center (MRC) pada pekan lalu tampak  jika persepsi nara sumber terhadap kinerja kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (SDM) sebanyak 18 persen masih dalam tahap berusaha, sedangkan sisanya masih 65  persen masih menuju  dan sebanyak 17 persen tercapai.  
 
FGD ini dilakukan sebanyak 24 Narasumber dari berbagai bidang untuk mengetahui sejauh mana kesuksesan pemerintahan Jokowi – JK dalam mengembangkan kedaulatan energi. 
 
Hasil ini tak jauh berbeda dengan persepsi narasumber dalam FGD terhadap berdikari dalam bidang ekonomi dalam energy yang sedang dalam tahap berusaha sebesar  40 persen, menuju sebesar 52  persen dan delapan persen tercapai untuk daulat energi berbasis kepentingan rakyat. 

Kedaulatan energi sudah dimualai dengan membubarkan Petral. Usaha pembubaran, seperti dikatakan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri, untuk menciptakan efisiensi dalam penyaluran minyak ke Pertamina (Persero) yang melibatkan banyak broker. Pada awalnya usaha ini tak mudah karena banyak kepentingan didalamnya, meskipun pada akhirnya pemerintah berhasil  juga untuk membubarkan Petral. 
 
Disisi lain harga BBM jenis premium juga mulai dicabut dan diberikan penyesuaian dalam mekanisme pasar. Namun hal ini malah menimbulkan polemik karena harga BBM menyebabkan kenaikan  sejumlah harga lainnya namun harga kebutuhan lainnya tak pernah turun ketika harga BBM diturunkan.  Kesulitan yang dialami juga karena proses pengiriman BBM premium memerlukan waktu  untuk menyimpan stok sehingga ketika harga minyak dunia turun, sehingga tak serta merta BBM bisa diturunkan karena ada persoalan distribusi BBM ke sejumlah POM Bensin dan harga  keekonomisan yang sangat jauh ketika membeli dan menjual kembali ke konsumen. 
 
Kesulitan yang juga tak bisa dilupakan adalah sebagian besar pemilik POM Bensin merupakan pihak swasta yang membuat pertamina sulit dalam mengawasi penyaluran subsidi tersebut. Pihak swasta  cenderung melihat keuntungan ekonomis dari penjualan harga BBM bersubsidi sehingga ada keenganan ketika harga BBM diturunkan. Bahkan banyak dari mereka yang mengaku merugi ketika  menurunkan harga BBM. 
 
Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia, Ndiame Diop  menilai Pemerintah Indonesia belum memiliki perhitungan khusus terkait penetapan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Dia menyarankan  pemerintah untuk merancang skema antisipasi atau migitasi risiko dari gejolak harga minyak. Pasalnya, ketika harga minyak naik seharusnya harga BBM naik, namun pemerintah justru menahan  kenaikan sehingga merugikan Pertamina.
 
Ketika minyak dunia turun, pemerintah akan memperoleh keuntungan dari harga BBM yang ditetapkan. Dari keuntungan tersebut bisa disimpan sebagai dana stabilisasi saat harga minyak dunia  kembali naik sehingga harga di tingkat konsumen tidak naik terlalu tajam. 
 
"Ada pajak BBM, itu bisa diterapkan ketika harga minyak turun. Pajak ini untuk menjaga stabilisasi harga agar harga naik dan turunnya tidak tajam," saran Diop. 
 
Dari sisi listrik, indonesia masih bergulat dengan proyek kelistrikan untuk mendukung pemerataan pembangunan. Sejumlah proyek yang segera dikebut adalah proyek 35.000 mw (mw) yang diklaim  akan mendukung infrastruktur di berbagai daerah. Poyek ini sempat mengalami kordinasi dengan kementerian terkait karena adanya perbedaan dalam kalkulasi angka kebutuhan listrik selama lima  tahun tersebut. 
 
Hal ini sempat memberikan pertanyaan seperti bagaimana proyek ini bisa berhasil ditengah dengan kegaduhan di tingkat eksekutif tersebut dan hambatan berinvestasi yang masih tinggi di Indonesia?
 
Pemerintah pun masih bergulat dengan rendahnya harga batu bara yang selama ini menopang kontribusi non migas selain komoditas Crude Palm Oil (CPO) selama pemerintahan sebelumnya. 
 
Rendahnya harga batu bara membuat sejumlah perusahaan batu bara terancam gulung tikar karena kesulitan menjual batu bara ke pasar internasional. Keuslitan ini karena konsumsi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di dalam negeri yang menjadi sandaran belum maksimal menyerap penjualan batu bara serta perekonomian negara pengimpor batu bara seperti Tiongkok yang sedang  bergulat dengan perlambatan ekonomi di negaranya. 
 
Dibalik tantangan ini pemerintah harus menunjukan taringnya dengan melakukan negosiasi kontrak dengan perusahaan tambang asing seperti PT Freeport Indonesia. Selama ini terlalu banyak dana  yang keluar dari negeri ini ke negara asing sebagai hasil dari konsesi energi yang lemah semenjak masa Orde Baru. Pengamat Hukum Hikmawanto Jumawa menduga Freeport ngotot masuk Izin  Usaha Pertambangan (IUP) karena perpanjangan melalui Kontrak Karya (KK) hanya kemungkinan bisa dilakukan pada 2019 padahal Freeport ingin segera memastikan keberadaanya di indonesia  untuk menjamin investasi smelter pada tahun ini.
 
Posisi pemerintah pun semakin kuat terhadap Freeport Indonesia, terutama terkait dengan disvestasi saham sebagai salah satu kewajiban perusahaan tambang asing untuk menanamkan investasinya di  indonesia. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, ada amanat  paling lambat 14 Oktober 2015, Freeport sudah harus mendivestasikan lagi sahamnya sebesar 10,64 persen. Lalu 10 persen lagi akan didivestasikan pada Oktober 2019. Saat  ini baru memiliki 9,36 persen saham Freeport yang dimiliki pemerintah lokal.
 
Langkah ini dilakukan dengan melihat berbagai hal seperti apakah akan dilakukan melalui jalur IPO di pasar modal, pembelian langsung oleh sejumlah BUMN atau dilakukan dengan menggunakan  anggaran APBN. Pilihan yang ketiga tampak sulit karena kebutuhan dana yang besar dalam  membeli 10,64 persen saham Freeport tahap pertama dari dua proses disvestasi yang totalnya mencapai  30 persen yang senilai USD1,6 miliar atau mencapai Rp22,4 triliun.  
 
Penjualan saham ini juga patut diwaspadai agar tidak memberikan keuntungan terhadap segelintir elit saja seperti kasus disvestasi saham Newmont ke pemerintah daerah yang malah jatuh ke  tangan Grup bakrie melalui PT Multi Media Bersaing, perusahaan patungan PT Daerah Maju Bersaing (DMB) dan mitranya PT Multi Capital milik Grup Bakrie , yang menguasai 24 persen saham Newmont. 
 
Masyarakat masih menantikan janji pemerintahan Jokowi-JK dalam mengembangkan kedaulatan energi. 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SAW)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan