Dua petugas melakukan pengecekan panel surya yang dipasang di Gedung Head Office Pertamina RU IV, di Cilacap, Jawa Tengah (ANTARA FOTO/Idhad Zakaria)
Dua petugas melakukan pengecekan panel surya yang dipasang di Gedung Head Office Pertamina RU IV, di Cilacap, Jawa Tengah (ANTARA FOTO/Idhad Zakaria)

Kebijakan Masih jadi Kendala Kembangkan EBT

Annisa ayu artanti • 14 Desember 2017 11:44
Jakarta: Pengembang panas bumi yakni General Electric Indonesia mengakui ada beberapa kendala yang membuat pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia tidak terlalu cepat. Salah satunya terkait dengan kebijakan. Karenanya, perlu ada keberpihakan dalam rangka EBT bisa berkembang signifikan di masa mendatang.
 
President Director of General Electric Indonesia Handry Satriago memaparkan dalam tiga sampai lima tahun ke depan pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi mencapai enam persen. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, kebutuhan akan energi diperkirakan meningkat sekitar enam persen.
 
Dibutuhkan investasi yang besar, sekitar USD600 miliar hingga 2040, serta investasi kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mengembangkan potensi EBT. Selain itu, sejumlah sentimen positif diharapkan bisa terus berdatangan dan mendukung pengembangan tersebut.

"Tantangan lain juga kita masih mengalami gangguan akibat kebijakan yang belum mendukung EBT, dengan frekuensi sekitar 5,58 kali per tahun atau 5,81 jam per tahun dan ini tentu menimbulkan kerugian hingga ratusan bahkan jutaan hal lain," kata Handry, dalam siaran persnya, di Jakarta, Kamis, 14 Desember 2017.
 
Hal senada dikatakan Presiden Direktur PT Pertamina Geothermal Energy Irfan Zainuddin yang menyatakan ada beberapa tantangan dalam mengembangkan EBT. Khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang menjadi ranah kerja PGE.
 
Dalam pengembangan PLTP di tahun-tahun mendatang, diperkirakan investasi upfront sekitar USD4 sampai USD5 juta per MW. Selain itu, persoalan lainnya adalah Biaya Pokok Produksi (BPP) daerah yang belum ekonomis dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 50/2017.
 
Lalu, tingginya risiko eksplorasi dan terbatasnya data geoscience dalam proses lelang wilayah kerja panas bumi, penolakan yang tinggi dari masyarakat setempat termasuk juga konflik selama proses akuisisi lahan, dan belum adanya regulasi yang mengatur penjualan energi panas bumi secara langsung (harus melalui offtaker).
 
"Perlu ada upaya lain lah dari regulasi insentif yang kita harapkan kedepannya," pungkas Irfan.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(ABD)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan