Pasalnya, selama ini kondisi kilang domestik yang bisa menghasilkan RON 92 hanya Kilang Balongan.
"Tunggu dari ESDM, itu kan baru rekomendasi dari tim, harus dilihat dulu. Pertamina bisa tidak untuk mengganti produksi kilangnya dari premium menjadi pertamax," ujar Bambang, saat ditemui di Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Selasa (23/12/2014).
Dirinya mengatakan, tentunya pemerintah harus memastikan apakah dengan melakukan perbaikan (upgrading) kilang-kilang yang berusia senja tak akan menambah volume impor pertamax ke depannya, karena secara tidak langsung bensin RON 88 akan dihilangkan.
"Harus memastikan ini enggak akan menambah volume impor kita," kata Bambang.
Lebih lanjut, dia menambahkan dengan adanya perbaikan kilang untuk RON 92 dipastikan tak berdampak pada keuntungan bagi negara, karena tentunya tak perlu dibebani anggaran subsidi BBM jenis premium seperti selama ini.
"Enggak ada keuntungan lebih, nantinya tetap. Selama pakai subsidi tetap enggak ada perubahan antara premium sama pertamax," pungkas dia.
Senada, Menko Perekonomian Sofyan Djalil akan mendukung PT Pertamina (Persero) untuk memperbaiki kilang domestik. Namun, untuk penghapusan premium, itu harus dilakukan bertahap.
"Memang RON dengan nilai lebih tinggi kualitasnya lebih bagus, tapi belum (kita pikirkan penghapusan premium), kalaupun dikalukan penghapusan bertahap, karena kalau tidak kita harus impor banyak sekali karena kilang pertamina belum siap," terang Sofyan.
Sekadar informasi, menurut Tim Reformasi Tata Kelola Migas kebutuhan BBM baik itu premium ataupun pertamax di Indonesia sebesar 16 juta barel per bulan. Namun, kilang dalam negeri hanya mampu memproduksi enam juta barel per bulan sehingga masih memerlukan impor sekitar 10 juta per bulan yang didominasi impor premium.
Adapun dengan perubahan produksi dari RON 88 menjadi RON 92, maka produksi di dalam negeri akan menurun menjadi lima juta barel per bulan sehingga impor akan meningkat menjadi 11 juta barel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News