Untuk itulah pembangunan PLTU Batang memilih menggunakan teknologi ultra super critical (USC) yang sudah diterapkan J-Power di Yokohama. Dengan itu diharapkan PLTU Batang bisa menjadi model pembangunan pembangkit listrik yang menggunakan batu bara.
"Kami berkunjung ke Isogo untuk melihat langsung teknologi yang dikatakan ramah lingkungan. Memang mereka telah berhasil dengan teknologi USC dan teknologi inilah yang akan kami gunakan kelak di Batang," kata Boy Thohir, di Yokohama, Jumat (11/11/2016).
Direktur PLTU Isogo Yazu Kotani menjelaskan, teknologi ultra super critical bisa menurunkan jauh pelepasan sulfur maupun nitrogen di udara. Untuk setiap Kwh yang dihasilkan jumlah SO2 yang dilepas hanya 0,01 gram, sementara nitrogen 0,05 gram.
Baca: Itochu Siap Kembangkan Bisnis di Indonesia
Demikian pula dengan CO2 yang dihasilkan. Dengan teknologi terbaru ini CO2 bisa turun 17 persen. Menurut Kotani, apa yang dilakukan J-Power sudah terbukti secara ilmiah. Bahkan Gunung Fuji masih bisa terlihat jelas dari Isogo karena udaranya yang terjaga bersih.
Menurut Buku Putih Kebijakan Energi Jepang, Negeri Sakura mengandalkan 22 persen energinya dari batu bara hingga 2035. Batu bara menjadi andalan setelah minyak yang masih menjadi pasokan utama.
PLTU Isogo mengonsumsi sekitar tiga juta ton batu bara per tahun. Selama ini kebutuhan batu bara sebagian dipasok dari PT Adaro. PLTU Isogo tidak pernah kesulitan dengan hasil pembakaran batu bara, karena abunya dibeli oleh pabrik semen di Jepang.
Menurut Boy Thohir, PLTU Batang sekarang sedang dalam proses konstruksi. Diharapkan pembangunan selesai akhir 2019, sehingga produksi pertama bisa masuk listrik nasional Mei 2020. Proyek PLTU Batang menelan investasi USD4,2 miliar. Kepemilikan proyek dibagi hampir merata oleh PT Adaro, J-Power, dan Itochu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News