"Indonesia, dalam hal ini Pertamina harus menjadi pelopor di tingkat internasional yang menerapkan kebijakan berkelanjutan. Indikator implementasi yang memberikan keuntungan bagi masyarakat, pemerintah, perusahan, serta terpenting ekosistem," ungkap Koordinator Koalisi Clean Biofuel for All Agus Sutomo, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 21 Desember 2019.
Menurutnya perubahan besar ekosistem yang berdampak pada perubahan iklim telah dirasakan termasuk efeknya terhadap masalah-masalah sosial yang ada. Artinya, perlu kebijakan yang tepat dan implementasi yang baik dengan memerhatikan keseluruhan aspek terkait penerapan biofuel agar tidak merusak ekosistem.
"Jika bersih dan baik produksinya, maka kita tidak perlu reaktif dengan tantangan apapun dari pihak luar. Namun terus produksi dan jadikan tantangan luar sebagai bahan evaluasi dan refleksi untuk menjadi yang nomor satu," tegasnya.
Sementara itu, Menko Maritim dan Investasi Luhut B Pandjaitan mengatakan kebijakan mandatori pencampuran solar dan Bahan Bakar Nabati (BBN) atau Fatty Acid Methyl Ester (FAME) dalam bentuk minyak kelapa sawit 30 persen atau dikenal dengan B30 diyakini akan bisa mengurangi impor minyak mentah sebesar 35 persen.
Kebijakan penggunaan B30 untuk seluruh kegiatan Public Service Obligation (PSO) atau subsidi dan non-PSO akan dimulai sejak 1 Januari 2020. Kebijakan ini merupakan keberlanjutan dari penerapan B20 yang telah dilakukan setahun ke belakang.
"Dari B20 kita bisa kurangi impor 25 persen. Kalau tahun depan continue saya kira bisa 35 persen kurangi impor energi," kata Luhut.
Luhut mengatakan impor energi mencapai Rp300 triliun. Jika 35 persennya bisa berkurang, maka negara akan hemat Rp105 triliun. Mantan Komandan Pasukan Khusus (Kopasus) ini mengatakan penerapan biodiesel ini dilakukan untuk menekan defisit neraca transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD) yang salah satunya diakibatkan oleh impor migas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News