Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno menuturkan produksi sumber daya dan cadangan mineral saat ini dikuasai oleh swasta atau asing. Untuk komoditas bijih bauksit, bijih emas, bijih nikel batu bara dan timah, BUMN Pertambangan hanya menguasai 7-13 persen dari total sumber daya dan cadangan di Indonesia.
"Kita ini punya SDA terbesar, tapi yang dikuasai BUMN sangat kecil. Batu bara itu less than 12 persen doang. Produksi cuma empat persen. Sedih ya. Kemudian, kalau emas dan tembaga almost zero. Emas very small. Bahkan enggak ada. Nikel sekitar 11 persen. Bauksit kecil juga cuma 15 persen. Kalau timah agak besar. Masalahnya timah ini kecil nilainya," ungkap Harry dalam sebuah jumpa pers di Kementerian BUMN, Jakarta, Jumat, 24 November 2017.

Sumber: Kementerian BUMN
Selain itu, peningkatan nilai tambah dari sumber daya alam minerba yang diproduksi oleh BUMN belum optimal. Saat ini Indonesia belum memiliki industri yang terintegrasi mulai dari tambang bauksit sampai pengolahan alumina menjadi aluminium sehingga seluruh bijih bauksit diekspor ke Jepang dan Malaysia. Sedangkan alumina untuk pembuatan aluminium harus diimpor dari Australia.
Sementara Antam juga belum mampu mengolah FeNi menjadi stainless steel meski Antam memiliki cadangan nikel ke-6 terbesar di dunia. Untuk itu kebutuhan stainless steel masih dipenuhi melalui impor dari Tiongkok dan Malaysia.
Lebih lanjut kemampuan pendanaan BUMN masih terbatas untuk mengembangkan program hilirisasi. Sebab aset BUMN pertambangan masih jauh di bawah perusahaan pertambangan swasta nasional apalagi jika dibandingkan dengan perusahaan tambang di Asia Pasifik.
"Apabila dibandingkan dengan perusahaan pertambangan swasta, total aset Antam sebagai BUMN pertambangan dengan aset terbesar masih di bawah Adaro Energy," tutur dia.
Terakhir, masing-masing BUMN Pertambangan masih fokus pada satu atau beberapa komoditas sehingga lebih rentan terhadap fluktuasi harga komoditas.
Kementerian BUMN pun memastikan kebijakan holding BUMN tambang berjalan sesuai aturan. Aspek hukum yang digunakan adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas (PT). PP tersebut merupakan revisi dari PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang hal yang sama.
Harry menambahkan dasar pembentukan holding BUMN ialah Undang-Undang Keuangan Negara dan UU tentang BUMN. Bahkan sejak 2014 telah ada PP holding kehutanan dan perkebunan, holding pupuk, hingga holding industri strategis. Pembentukan kebijakan itu, katanya, juga melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi VI DPR.
Meski PP tersebut sempat digugat melalui judicial review, Mahkamah Agung akhirnya memutuskan PP 72 tidak melanggar UU. Pemerintah pun mengeluarkan PP 47 tentang pengeluaran penyertaan modal negara lewat Inalum untuk memperkuat kebijakan holding BUMN tambang.
Dalam holding tersebut, PT Inalum (Persero) ditunjuk sebagai induk holding BUMN Tambang dengan membawahi PT Bukit Asam Tbk (Persero), PT Aneka Tambang Tbk (Persero), dan PT Timah Tbk (Persero).
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News