"Daripada menurunkan produk ke RON 88, lebih baik Pertamax saja yang disubsidi. Kadar oktannya lebih tinggi dan lebih baik untuk mesin kendaraan," kata dia, dalam seminar nasional 'Mencari Harga BBM yang Pantas Bagi Rakyat', di Jakarta, Rabu (24/9/2014).
Produksi BBM Premium (oktan 88), tambah dia, hanya bisa dilakukan di kilang Balongan, Cilacap-Jawa Tengah. Di kilang itu kadar oktan diturunkan hingga ke RON 88. Iman menambahkan, model subsidi BBM yang tepat di Indonesia sebaiknya menggunakan skema proporsional. Sebagai contoh, subsidi BBM sekarang sebesar 35 persen dari harga pasar yang berarti masyarakat membeli seharga Rp6.500 per liter untuk premium.
"Skema proporsional artinya negara hanya menyubsidi sebesar 35 persen dan itu berlaku terhadap fluktuasi harga minyak dunia. Dengan begitu apabila harga minyak dunia melambung maka tidak membebani negara," ungkapnya.
Namun, proporsi subsidi 35 persen tersebut harus dikalkulasi dengan mengacu pada harga dunia sehingga tidak membebani negara dan masyarakat. "Nanti dihitung lagi berapa harga patokannya, baru ketemu persentase subsidinya," tutur dia.
Mantan Menteri Koordinator Perekonomian Industri dan Keuangan, Kwik Kian Gie, menyayangkan sikap pemerintah yang seringkali membesarkan informasi bengkaknya subsidi bahan bakar minyak (BBM), namun tidak diimbangi dengan besarnya pemasukan negara yang diterima.
"Dalam nota keuangan 2015, pos subsidi BBM Rp291,11 trilun. Angka ini yang selalu ditonjolkan sebagai pengeluaran tunai sehingga APBN jebol. Tapi ada tiga macam pemasukan yang tidak pernah disebut," ucap Kwik.
Lebih lanjut, menurutnya, pemasukan negara dari sektor minyak dan gas bumi mencapai Rp289,71 trilun. "Apabila penerimaan negara itu dikurangi dengan besaran subsidi maka APBN hanya jebol Rp1,4 trilun. Bukan Rp291 triliun akibat subsidi BBM," jelas Kwik.
Hal itu juga sama halnya seperti dalam APBN Perubahan 2014. Subsidi BBM sebesar Rp284 triliun sementara penerimaan negara dari sektor migas sebesar Rp276,52 triliun.
"Dengan begitu, maka defisit APBN P 2014 sekitar Rp8,47 triliun. Bukan sekian ratus triliun yang digembar-gemborkan dalam subsidi," paparnya.
Selama ini, lanjutnya, pemerintah mengacu harga keekonomian BBM berdasarkan BBM nonsubsidi yakni sekitar Rp10.900 per liter. Dengan begitu maka pemerintah mensubsidi masyarakat sekitar Rp4.400 per liter untuk BBM jenis Premium.
"Bagi saya harga yang pantas bukan harga keekonomian yang dibentuk berdasarkan harga New York Mercantile," tambah dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News