Anggota Komisi VII Fraksi Partai Golkar M Ridwan Hisjam mengatakan pemerintah mengeluarkan beberapa opsi berupa pengurangan atau penghapusan bagi hasil pemerintah (government intake) agar harga gas bisa sesuai dengan amanat Peraturan Presiden (Perpres) 40 Tahun 2016.
Bila harga pemerintah dikurangi tentu akan berpengaruh pada pengurangan penerimaan negara. Sementara produsen gas keberatan jika penurunan harga hanya melihat dari sisi hilir. Artinya pemerintah mau tidak mau harus menutupi kerugian dengan opsi tersebut.
Namun bila pemerintah babak belur dengan berkurangnya penerimaan yang semestinya didapatkan, industri semestinya bisa lebih berkembang setelah harga diturunkan.
Tumbuhnya industri akan menciptakan sumber-sumber penerimaan lainnya. Dengan kata lain, berkurangnya penerimaan akibat penurunan harga dapat dikompensasi dengan penerimaan yang dihasilkan dari pertumbuhan industri.
"Kalau sampai nanti harga itu membebani pemerintah, harapannya industri harus bisa memacu produksinya naik sehingga bisa menutup pendapatan negara yang berkurang," kata Ridwan dalam diskusi bertajuk penurunan harga gas industri, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 18 Februari 2020.
Menurut Ridwan beban negara sudah sangat berat. Pasalnya, anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk sektor energi melalui subsidi sudah sangat tinggi. Tahun ini saja subsidi LPG mencapai sekitar Rp70 triliun.
"Negara ini sudah cukup besar memberikan subsidi energi. Apakah APBN kita harus dibebani lagi (dengan penurunan harga gas)," tutur Ridwan.
Karena itu, ia berharap penurunan harga gas bisa berdampak positif bagi industri sehingga bisa menyumbang penerimaan negara yang lebih besar ke depannya.
Saat ini harga gas industri masih di atas USD9 per MMBTU. Sementara dalam Perpres 40, harga gas diamanatkan sebesar USD6 per MMBTU. Artinya ada gap atau selisih USD3 per MMBTU.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News