Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik (MTVN/Annisa Ayu Artanti).
Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik (MTVN/Annisa Ayu Artanti).

Pertamina Dukung Skema Tarif Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Probisnis

Annisa ayu artanti • 13 Desember 2017 17:16
Jakarta: PT Pertamina (Persero) mendukung skema tarif pembangkit listrik tenaga panas bumi yang pro-bisnis. Sebab, regulasi yang ramah terhadap investasi itu dinilai bakal mempercepat pembangunan energi terbarukan panas bumi, maupun energi terbarukan lainnya seperti bio massa, hidro, matahari dan lainnya.
 
Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik mengatakan beberapa tahun ke depan Pertamina masih akan mengembangkan energi panas bumi. Oleh karena itu dia menyambut baik regulasi yang ramah investasi dan mendukung terciptanya clean energy kedepannya.
 
"Kami sudah membangun pembangkit listrik panas bumi dengan kapasitas terpasang 587 megawatt (mw). Potensinya sangat besar, dari total 29 Gigawatt, yang baru terpasang masih kurang dari 3 Gigawatt. Untuk itu regulasi memiliki peran penting dalam pengembangan energi panas bumi ke depan," kata Elia Massa Manik di Hotel Raffles, Jakarta, Rabu, 13 Desember 2017.

Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Yunus Saefulhak menyatakan regulasi terbaru memungkinkan adanya skema B to B, jika rata-rata biaya pokok produksi (BPP) pembangkit listrik dinilai kurang.
 
Ia mencontohkan, proyek pembangkit panas bumi Rantau Dedap yang berada di Kabupaten Muara Enim dan Lahat, Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan yang penentuan harga listriknya ditentukan melalui proses amendemen perjanjian jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA).
 
"Dari target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025, sekitar 7.200 MW atau 16 persen akan datang dari panas bumi, dan investasi di sektor ini di perkirakan akan mencapai USD8 miliar. Untuk itu kita harus menyiapkan beberapa strategi, yang pertama regulasinya harus mendukung," ucap Yunus.
 
Selain itu Yunus menambahkan pemerintah juga akan menggunakan pinjaman lunak supaya bisa mendapatkan harga yang lebih murah atau dengan bekerja sama dengan negara lain yang memiliki teknologi yang lebih maju, sehingga terjadi transfer teknologi di sana.
 
Yunus menambahkan, sejak pemerintah memperbaiki regulasi terkait pengembangan panas bumi, investasi di sektor ini semakin meningkat. Dalam setahun terakhir misalnya, ada 80 penandatanganan pembangkit listrik energi terbarukan oleh IPP (independent power producers) dengan kapasitas pembangkit listrik mencapai 1.100 mw yang terdiri dari PLTA, PLT biomassa, PLTP, dengan investasi USD2,9 miliar. Sementara potensi energi baru terbarukan di Indonesia mencapai 443,2 GW dan yang termanfaatkan baru 8,8 GW atau dua persen saja.
 
"Intinya kebijakan yang kami susun, mengacu pada tiga hal, kompetitif atau murah, terjangkau oleh masyarakat dan ketiga harus terdistribusi dengan baik atau yang dikenal dengan istilah energi berkeadilan. Jadi, kelihatannya memang ada tarik ulur antara kepentingan keekonomian dan kepentingan rakyat dan negara dalam mempercepat pembangunan energi baru dan terbarukan di Indonesia," jelas Yunus.
 
Seperti diketahui, pemerintah terus menawarkan inisiatif dan insentif menarik bagi investor di sektor pembangkit listrik panas bumi. Selain memberikan fasilitas perpajakan seperti pembebasan PPN, PPh maupun pajak impor, pemerintah melalui regulasi terbaru Peraturan Menteri Nomor 50 Tahun 2017 tentang pengembangan energi baru dan Terbarukan (EBT) dan membuka peluang untuk proses penentuan tarif secara bussines-to-bussines (B to B) antara PT PLN (Persero) dan pengembang listrik swasta.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SAW)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan