"Apalagi untuk kota Jakarta, hukumnya wajib!" tegas Tulus, seperti dikutip dari Antara, di Jakarta, Rabu, 9 Oktober 2019.
Pernyataan Tulus tersebut terkait erat dengan persoalan solar subsidi akhir-akhir ini, terutama terkait dengan kebijakan pembatasan pembelian solar subsidi, yang akhirnya dicabut tak lama kemudian. Pembatasan solar subsidi memang tidak memecahkan persoalan, bahkan di lapangan hanya menyulitkan dan membuat potensi crowded menjadi sangat besar.
"Oleh karena itu, jika konteksnya terkait polusi, sudah saatnya pemerintah mewajibkan penggunaan BBM berkualitas tinggi, termasuk solar," ungkap Tulus.
Selain itu, lanjutnya, akan lebih adil kalau dilakukan penyesuaian harga solar karena hal itu lebih menjamin ketersediaan dibandingkan dengan melakukan pembatasan. Untuk itu pula, sudah saatnya pemerintah mulai menghitung harga BBM nasional, termasuk solar terkait harga minyak mentah dunia.
Menurut dia lebih baik barang ada walau harga naik daripada harga tetap tetapi barang tidak ada. "Seharusnya harga BBM memang disesuaikan dengan harga keekonomian, kecuali untuk kelompok khusus, misalnya nelayan," lanjutnya.
Menurut Tulus, dari sudut pandang konsumen, pembatasan penggunaan solar memang memiliki banyak kerugian di antaranya mengganggu distribusi pasokan logistik yang ujung-ujungnya dapat mengakibatkan kenaikan harga-harga.
"Konsumen yang menanggung rugi karena harus menanggung inefisiensi akibat kenaikan harga tersebut," tukasnya.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menambahkan peralihan penggunaan solar subsidi ke nonsubsidi bisa menjadi solusi. Terkait hal itu, dia meminta pemerintah kembali menggalakkan imbauan kepada masyarakat untuk menggunakan solar nonsubsidi.
"Peran pemerintah sangat penting karena banyak pengguna mobil pribadi seperti Pajero, Fortuner, dan bahkan Innova diesel, yang masih menggunakan solar subsidi," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News