Hal tersebut seiring dengan adanya kewajiban bagi penyedia bahan bakar minyak (BBM) untuk melakukan pencampuran (blending) dengan bahan bakar nabati (BBN) seperti bioetanol.
"Jika pewajiban itu berjalan optimal, pasar bioetanol dalam negeri sangat besar. Prospek jangka panjang bisnis ini sangat cerah," ujar Misbahul, dalam siaran persnya, di Jakarta, Senin (31/8/2015).
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM 25 Tahun 2013 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati sebagai Bahan Bakar Lain, telah diatur kewajiban untuk blending BBM dengan biofuel, yaitu biodiesel dan bioetanol.
Pemerintah telah menetapkan pemanfaatan BBN untuk tiga sektor, yaitu transportasi Public Service Obligation (PSO) atau BBM bersubsidi, transportasi non-PSO (BBM nonsubsidi), dan industri serta komersial.
Pada 2015, target pemanfaatan bioetanol BBN untuk BBM bersubsidi sebesar satu persen, nonsubsidi dua persen, serta industri dan komersial dua persen. Menurut dia, di sejumlah negara, bahkan telah ada kewajiban blending BBN ke BBM hingga 10 persen dan 20 persen.
"Kondisi ini membuat permintaan produk bioetanol di pasar global dan regional akan terus meningkat," jelasnya.
Misbahul menambahkan, produksi bioetanol merupakan upaya meningkatkan nilai tambah pabrik gula. Bioetanol ke depan bisa menjadi salah satu penopang pendapatan industri gula di tengah pergerakan harga gula yang sering fluktuatif.
"Hampir semua industri gula di luar negeri seperti Thailand, India, dan Brasil, sudah menggarap bioetanol. Ke depan, kami akan terus memperluas pemasaran produk bioetanol kami. Kami juga berharap pemerintah bisa konsisten dalam menerapkan kebijakan pencampuran bahan bakar nabati ke BBM sebagai upaya meningkatkan gairah investasi di sektor energi baru terbarukan," pungkas Misbahul.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News