Nilai tersebut dibutuhkan untuk menahan produksi di hulu yang mengalami penurunan dengan mengembangkan infrastruktur gas dan memperluas kapasitas pengilangan demi memenuhi kebutuhan minyak yang makin meningkat.
"Kami juga percaya bahwa peningkatan proporsi investasi kemungkinan akan jatuh ke Pertamina sebagai produsen minyak dan gas milik negara dan produsen domestik sebagai investasi asing moderat di tengah lingkungan peraturan yang berkembang, "kata Asisten Wakil Presiden dan Analis Moody Rachel Chua dalam keterangan tertulis, Selasa, 2 Oktober 2018.
Chua mengatakan sekitar 80 persen atau USD120 miliar dari investasi tersebut diperlukan untuk kegiatan eksplorasi di hulu dan sisanya USD30 miliar untuk segmen hilir.
Tanpa adanya lonjakan dalam investasi, Moody's memperkirakan total produksi migas di Indonesia akan turun hampir 20 persen di 2022 dari produksi di 2017.
Investasi di hulu Indonesia mengalami penurunan hampir lima puluh persen dalam kurun waktu empat tahun terakhir sebagai dampak dari penurunan harga minyak global yang membuat pertumbuhan perusahaan melambat.
Dalam laporan Moody's juga disebutkan Indonesia akan menjadi pengimpor gas nett setelah 2022 karena produksi domestik tidak mampu mengimbangi permintaan.
Indonesia juga diprediksi akan bergantung pada impor minyak mentah. Kapasitas penyulingan dometik yang teratas membuat Indonesia kemungkinan mengimpor minyak bumi lebih dari 55 persen atau mengalami kenaikan dari saat ini 40 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News