Mengapa demikian? Fabby menjelaskan hal tersebut dikarenakan, Indonesia belum bisa memasok energi primer yang bersumber dari dalam negeri. Selama ini, bahan baku batubara yang digunakan untuk energi listrik misalnya, masih banyak berasal dari impor. Ini disebabkan tidak adanya kebijakan konkrit yang melarang impor bahan baku dan lebih memberdayakan konten lokal.
"Batubara selama ini tidak ada larangan impor," kata Fabby dalam diskusi bertema energi di Bakoel Kofee, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (15/3/2015).
Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan menyebutkan pasokan energi primer harus bisa memenuhi kebutuhan domestik. Selama ini, Indonesia masih impor batubara, karena batubara yang diproduksi sendiri malah diekspor, bukan digunakan untuk digunakan di tanah sendiri.
"Sekitar 80 persen produksi batubara kita malah diekspor. Padahal kalau mau menambah kapasitas pembangkit, batubaranya harus dipastikan mencukupi," ucapnya.
Lebih lanjut Fabby menyebutkan kebutuhan batubara nasional untuk pembangkit listrik diperkirakan mencapai 100 juta ton. Sementara produksi nasional saat ini mencapai sekitar 400 juta ton. "Bayangkan jika 80 persen dari produksi yang ada malah diekspor. Artinya, yang tersisa untuk kebutuhan pembangkit dalam negeri tak sampai angka 100," cetusnya.
Pada kesempatan yang sama, anggota Komisi VII DPR RI, Ramon Siagian mengungkapkan, selama ini pemerintah tidak pernah menyampaikan perencanaan dan strategi terkait pasokan batubara dan juga energi murah untuk 10 tahun ke depan.
"Komposisi energi primer itu salah satunya batubara. Yang terjadi saat ini bersifat retorika saja. Belum ada penjelasan bagaimana biar cost energi turun, agar masyarakat bisa terlindungi dan bisa kompetisi," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News